Jalan Nasionalisme Keindonesiaan
Oleh: Asep Salahudin
"KAMI adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu? Al Khalik, Yang Mahapencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku" (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat).
Di tengah gencarnya aliran politik dan ormas keagamaan yang hidup di negeri kepulauan, tapi menolak NKRI, Mempercakapkan nasionalisme merupakan sesuatu yang penting. Menganggap nasionalisme sebagai bidah yang akan merusak nilai transendental keimanan yang agung seperti yang diartikulasikan HT (Hizbut Tahrir) dengan pengikutnya sudah mulai menyebar di berbagai tempat.
Kecintaan terhadap Tanah Air yang kemudian mengikatkan diri menjadi sebuah NKRI ialah fitrah yang melesak dalam palung setiap jiwa warga negara Indonesia. Bukankah dahulu saat Nabi Muhammad SAW hendak hijrah ke Madinah, beliau sangat bersedih sampai meneteskan air mata karena jiwanya sangat terpaut dengan tanah kelahirannya. Itu juga yang menjadi alasan Sumpah Pemuda pada 1928 mendapatkan sambutan gempita dari seluruh anak bangsa. Sumpah Pemuda yang dengan sangat imajinatif dan visioner membayangkan kesatuan bahasa, bangsa, dan Tanah Air itu kemudian ditubuhkan pada 1945 lewat gelora proklamasi yang dibacakan Soekarno dan Hatta.
Dalam konteks kebangsaan, negara dibangun kaum leluhur. Mengutip Benedict Anderson, nation (bangsa) sebagai komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dibayangkan justru diacukan pada kesamaan sebuah bayangan negara masa depan. Hal yang dapat mempersatukan antarpulau dan kerajaan-kerajaan masa silam yang dahulu sering berperang ialah keserupaan nasib, perasaan, hasrat, dan cita-cita masa depan untuk memiliki sebuah institusi negara yang dapat mendistribusikan keadilan, menjamin rasa aman, memberikan kebebasan memeluk keyakinan, dan kemerdekaan dalam berpolitik.
Bayangan 'negara masa depan' kemudian diperjuangkan secara heroik oleh kaum pergerakan lewat beragam cara. Yakni melalui senjata, diplomasi, pena, atau bambu runcing yang disulut keberanian yang tak tepermanai melawan persenjataan mutakhir kaum kolonial. Berbagai cara dilakukan untuk membangkitkan semangat rakyat, di antaranya berbagai organisasi didirikan, kesadaran berpolitik massa yang dikobarkan, semangat antipenjajahan yang digalakkan, dan nama agama yang dianggitkan.
Diaraknya ideologi, baik berlatar keyakinan, nasionalisme, maupun komunisme bertujuan melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak agar massa solid dan satu tujuan. Yakni kaum penjajah harus secepatnya hengkang dari 'bumi pertiwi' setelah sekian lama mengambil kekayaan Indonesia, mengambil hak-hak kemanusian, dan terus-menerus memata-matai kebebasan beragama.
Nalar nasionalisme
Pada awal kemerdekaan, di gedung konstituante, manusia pergerakan yang dahulu berjuang melawan kaum penjajah kemudian melanjutkan sengketanya dengan sesama elite Indonesia untuk membentuk Indonesia baru. Mereka bersidang dengan mendahulukan nalar, kepentingan bersama, dan kelapangan dada. Setelah diambil satu kata itifak, semua menyetujui dengan sepenuh hati. Sama halnya ketika kata sepakat diambil dalam perumusan Pancasila dan pembuatan UUD 1945.
Para pendiri bangsa itu sama sekali tidak memperdebatkan nasionalisme, apalagi memperhadapkannya dengan agama. Dalam kesadaran mereka, agama justru menjadi dasar metafisika agar nasionalisme memiliki landasan etik yang kuat. Nasionalisme menjadi 'perkakas Tuhan' sehingga kehidupan menjadi selaras dengan ruhnya yang asasi. Seperti yang ditulis Bung Karno, '...nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada bangsa lain sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segala sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup... nasionalisme yang membuat kita menjadi perkakas Tuhan dan membuat kita menjadi hidup dalam roh.'
Nasionalisme dan keimanan bukan sesuatu yang berseberangan, bahkan justru beririsan. Ketuhanan ialah pandu agar negara yang telah dibuat tidak menemui jalan sesat. Nilai-nilai ketuhanan yang maha esa yang diletakkan pada sila pertama justru menjadi karakter khas dalam berbangsa. Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 dengan fasih menggambarkan tautan Tanah Air di hadapan Allah SWT, '...Tanah air itu ialah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia...Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, Tanah Air kita? Menurut geopolitik, Indonesia-lah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatra saja, Borneo saja, Selebes saja, Ambon saja, atau Maluku saja, melainkan segenap kepulauan yang ditunjuk Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudra. Itulah Tanah Air kita.'
Godaan Islam politik
Nasionalisme bukan menjadi alasan kaum beragama mencari 'mazhab' lain dalam bernegara. Bahkan, NKRI memberikan kebebasan sepenuhnya kepada setiap warga untuk melakukan penghayatan dan pengalaman ajaran agama. Soekarno sadar bahwa pada masanya ada banyak aktivis Islam yang masih terpikat dengan fantasi negara Islam. Bahkan kawannya sendiri ketika mondok di HOS Tjokroaminoto, Kartosuwiryo, tidak hanya tergoda politik Islam, tetapi juga memperjuangkannya lewat jalan kekerasan. Tidak sedikit juga politisi yang pada saat itu satu kaki mereka terhunjam di bumi Ibu Pertiwi yang telah diperjuangkan dan kaki lain terhunjam jauh dalam sejarah silam Islam. Para penggiat Islam politik itu mendayung dalam karang nasionalisme dan islamisme dalam kebimbangan yang tidak pernah terselesaikan secara memuaskan.
Fenomena itu yang menjadi latar Soekarno menyampai pidatonya dengan sangat bagus, yakni 'Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam--maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum sempurna, tetapi kalau saudara-saudara membuka, saya punya dada dan melihat saya punya hati. Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan hati Islam. Hati Islam Bung Karno ini ingin membela Islam dalam mufakat dan dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan rakyat. (1945).'
Hari ini ialah sebuah ironi kalau ada sebagian ormas yang masih mengutak-atik ihwal nasionalisme, apalagi mempertentangkannya dengan agama. Hal itu bukan hanya mencerminkan kegagapan pikir, melainkan juga menggambarkan pemahaman yang tercerabut dari akar sejarah kebangsaan. Mereka tidak pernah membaca bagaimana negeri ini didirikan oleh leluhur kita. Selebihnya, mereka tak dapat memaknai agama secara rasional, membumi, dan kontekstual.
Saatnya nasionalisme yang sudah menghunjam dalam palung seluruh warga membawa kesejahteraan. Inilah hakikat jalan nasionalisme, yakni jalan menuju keadilan dan kesejahteraan, bukan nasionalisme yang mengawang-ngawang seperti ditulis Bung Karno, 'Nasionalisme, masyarakat ialah nasionalisme yang timbulnya tidak karena rasa saja, tidak karena gevoel saja, tidak karena lirik saja, tetapi juga karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat.'
Keadaan di dalam masyarakat perlu diperbaiki sehingga keadaan yang pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, dan tidak ada kaum yang celaka. Akhirnya, tercipta suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi serta keberesan negeri dan keberesan rezeki. []
MEDIA INDONESIA, 03 Juli 2015
Asep Salahudin, Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya Tasikmalaya
--
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
__._,_.___
Posted by: Indra Prihantaka <indrapuyi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar