Selasa, 13 Desember 2016

Penyebaran Gerakan Khilafah Di Kampus Makin Menguat

Penyebaran Gerakan Khilafah Di Kampus Makin Menguat
(Gerakan Khilafah Bertujuan Merebut & Menjadikan Indonesia Sebagai Bagian Wilayah Dari Sebuah Pusat Kekuasaan Khilafah Yang Berdiri di Palestina)
HTI
Foto: HTI menggelar muktamar di Balai Sudirman Jakarta, pada 23 April 2016 lalu

Mahasiswa di Indonesia memiliki peran besar dalam menggulingkan pemerintahan Suharto pada 1998 lalu, melalui gelombang demonstrasi yang mendukung demokrasi bergulir dari kampus ke kampus. Tetapi kini, sejumlah kelompok mahasiswa berkeinginan untuk mengganti demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam khilafah dan antikeberagaman.

Gerakan yang mendukung sistem pemerintahan Islam khilafah menguat di kampus-kampus pascareformasi yang antara lain dilakukan oleh ormas Hizbut Thahrir Indonesia, HTI, yang berniat mendirikan negara Islam.

Wartawan mencoba menelusuri penyebaran gerakan khilafah di Yogyakarta.
Dalam selebaran yang didapat tertulis, ini merupakan kajian Sirah Nabawiyah yang rutin dilakukan setiap Kamis, sementara tulisan kecil di bawahnya menyebut demokrasi yang merusak, dan kembali ke khilafah.

Sore itu di pertengahan April, sejumlah mahasiswa tampak serius mengikuti kajian tentang Sirah Nabawiyah, sejarah Rasullulah SAW dan politik Islam di masjid kampus Institut Seni Indonesia, ISI, Yogyakarta.

Saya berbicara dengan beberapa orang mahasiswa yang rutin mengikuti kajian, mereka mengatakan sistem pemerintahan Islam atau khilafah itu yang paling tepat saat ini untuk menggantikan demokrasi.

Salah satunya Robby Effendy, pengurus HTI di kampus ISI, yang mengelar kajian rutin yang salah satunya mengkritik demokrasi.

"Kalau masalah demokrasi yang merusak itu bagian dari kajian yang dibahas, jadi secara pikiran sederhananya demokrasi itu suara terbanyak yang diikuti, contohnya ada satu kiai dan ada sepuluh preman. Nah, itu preman yang menang kan, itu yang dikritisi, dari sisi pemerintahan itu kan justru orang-orang buruk yang dominan yang memilih itu, jadilah pimpinan yang buruk," jelas Robby Effendy.

Robby kemudian menjelaskan bagaimana sistem pemerintahan kekhilafahan di dunia yang diyakininya.

"Kita menganut sistem sejarah nabi yang dulu, jadi ada yang namanya sistem pemerintahan khilafah, jadi sistem pemerintahan Islam. Satu kepemimpinan dunia, satu pusat ini kan memimpin wilayah, jadi setingkat Indonesia itu seperti provinsi jadi kecil dan ditunjuk pimpinan-pimpinan daerah seperti itu," jelas Robby.

Robby mengaku sejumlah aparat keamanan dan PNS ada yang mendukung penegakan sistem khilafah ini.

Pembatasan Ekspresi

Selain masjid, penyebaran paham radikal juga menyusup melalui perkuliahan, lewat para dosen.
"Di kampus juga ada dosen yang anggota, jadi kayak pas kuliah itu jadi diserempetin keislaman padahal itu bukan ranahnya, pernah juga ketika mata kuliah seni tetapi tiba-tiba bicara tentang serangan 11 September," jelas Pius Satriya , mahasiswa ISI.

Dia khawatir radikalisme akan membatasi kebebasan berekspresi di kampus seni itu.
"Kayak ada radikalisme itu masuk sini, ini jadi dibatesi, aku gambar manusia telanjang ini kayak dibatesi, kita di kampus seni malah dibatesi, takutnya kan di situ," kata dia.

Salah seorang mahasiswa di Yogyakarta yang pernah bergabung dengan HTI kepada BBC Indonesia menyebutkan HTI biasanya merekrut mahasiswa baru dan melarang tahlilan dan juga 'menguasai' masjid kampus.

Namanya dirahasiakan untuk melindunginya.

"Sebagai orang dengan latar belakang NU, saya di kos sering seperti tahlilan dan selawatan, itu tak boleh, cowok dan cewek juga dipisah, terus ketika ada takmir masjid yang berasal dari aliran yang berbeda, diusir secara halus."

Pembantu Rektor III ISI Anusapati mengakui ada tenaga pengajar dan mahasiswa menjadi anggota ormas radikal, tetapi dia menganggap sejauh ini kehadiran mereka belum jadi persoalan serius bagi kampus.

"Kami sedang mendalami, itu juga beberapa mahasiswa dan dosen kami itu ada juga, tetapi sejauh tidak menyebarkan paham yang radikal itu kami tetapi memberikan kebebasan tentu kami akan berusaha mencegah jika menyebarkan paham-paham ke mahasiswa lain," jelas Anusapati

Tetapi, dia mengakui memantau pergerakan ormas ini di kampus agar tidak terjadi konflik.

"Itu di satu sisi memang menjadi dinamika di kampus ini, tetapi ada yang harus kita waspadai untuk menghindari konflik dari dua paham yang berbeda ini. Tentu ada sekelompok atau individu yang misalnya menolak menggambar makhluk hidup, tentu kami tidak menutup kemungkinan yang mau itu untuk belajar, memang ada perbedaan seperti ini tetapi sejauh ini kami kelola," kata Anusapati.

Ancaman Toleransi & Keberagaman

Tak hanya di ISI, di masjid kampus UGM,  juga terlihat beberapa orang pendukung HTI membagikan selebaran yang berisi ajakan untuk mendukung ide khilafah.

Kampanye ini tak hanya terjadi di dalam kampus, tetapi juga di jalanan di Yogyakarta.

Pertengahan April lalu, beberapa mahasiswa mengelar spanduk yang berisi pendirian negara Islam dengan berdiri tanpa suara di jalan di kota Yogyakarta, dengan membentangkan spanduk bertuliskan Indonesia berkah, dengan syariah. Islam Rahmatan Lil Alamin. Hanya ada dalam Khilafah.

Beberapa mahasiswa itu juga merupakan kader HTI.

Dalam Hizbut Tahrir disebutkan organisasi ini berdiri pada 1953 di Palestina, yang digagas oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, alumni Al-Azhar Mesir.

Organisasi yang menyebut sebagai gerakan politik ini bertujuan untuk mendirikan sistem kekhalifahan ini masuk ke Indonesia pada kurun waktu 1980an melalui dakwah-dakwah di kampus besar di Indonesia, sebelum akhirnya merambah ke kelas menengah melalui pengajian di masjid di dalam permukiman warga, perusahaan dan perkantoran.

Kajian LIPI menyebutkan HTI merupakan bagian dari gerakan Islam transnasional yang menyuburkan paham radikal kalangan pelajar dan mahasiswa, selain Jamaah Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) dan salafi.

"Sebagian besar perguruan tinggi umum, yang telah didominasi oleh Ikhwanul Muslimin dan Islamis lainnya," jelas Anas Saidi peneliti LIPI.

Anas mengatakan jika pemahaman ini dibiarkan akan menyuburkan sikap intoleran dan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa.

Anas mengungkapkan dalam penelitian yang dilakukan pada 2011 di lima universitas di Indonesia UGM, UI, IPB, Unair, Undip menunjukkan peningkatan pemahaman konservatif atau fundamentalisme keagamaan.

Kondisi itu juga terjadi di universitas swasta.

Ormas Dilarang Masuk Kampus

Kekhawatiran penyebaran paham radikal yang menolak demokrasi ini juga dirasakan oleh rektorat Universitas Islam Indonesia UII, dan kemudian menerbitkan surat edaran yang melarang aktivitas ormas dan partai politik di kampus ini, seperti dijelaskan oleh Rektor UII Harsoyo.

"Kami tidak ingin jadi kampus politik dan kita ingin kampus netral saja, kalau memang mereka mau manggil siapa saja boleh, tetapi bukan mengatasnamakan kegiatan organisasi tersebut, kemungkinan terjadinya konflik," jelas dia.

Ajaran organisasi radikal yang sering kali bersikap eksklusif dan menganggap diri paling benar, itu yang dikhawatirkan oleh Harsoyo akan berdampak pada kehidupan kampus.

"Kami mengkhawatirkan kalau terjadi perpecahan itu yang kami tidak suka..... Terjadinya radikalisme itu 'kan karena menganggap dirinya paling benar sehingga orang lain salah semua, itu sangat berbahaya kalau sudah tidak bisa menghargai pendapat orang lain, kami tidak berharap seperti itu, yang bisa kami lakukan ya seperti itu, di lingkungan kampus bebas dari kegiatan seperti itu."

Kampanye Khilafah Bertentangan Dengan Pancasila

Pemerintah mengaku telah mengetahui penyebaran paham radikal di kampus-kampus, dan sudah melakukan berbagai upaya pencegahan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, jelas Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir.

"Jadi di kampus kami bentuknya selalu kami kumpulkan para rektor, instruksikan dalam bentuk surat sudah kami sebar, semua kegiatan organisasi masyarakat, organisasi politik, ormas lainnya yang menamakan diri adalah yang diindikasikan radikalisme dan ekstremisme ini dilarang di kampus, " kata Nasir.

Penyebaran paham radikal ormas yang tidak menganut asas Pancasila, menurut Nasir, dilarang di kampus-kampus.

"Bahkan ekstremnya kalau ada organisasi masyarakat yang mengatasnamakan asasnya bukan pancasila dan UUD itu jelas akan jadi masalah itu tidak boleh. Kampus itu berdasarkan kajian ilmiah, bukan kemauan," kata Nasir.

Masuknya paham radikal di kampus-kampus juga dikhawatirkan akan membatasi ruang-ruang kebebasan akademik di kampus.

Pertanyaannya:
Kenapa ada kesan terjadi pembiaran oleh aparat negara Republik Indonesia terhadap gerakan yang massif, terstruktur & terorganisir yang bertujuan merebut Indonesia untuk dijadikan wilayah/setingkat propinsi, dari pusat kekuasaan yang dikatakan oleh Hizbut Tahir berdiri tahun 1953 di Palestina, yang dikatakan sebagai pusat kekuasaan khilafah?

Apakah karena sudah banyak aparat keamanan negara dan pegawai negeri sipil (PNS) yang bergabung serta mendukung upaya merebut Indonesia untuk dijadikan bagian wilayah dari pusat kekuasaan khilafah yang berdiri tahun 1953 di Palestina sebagaimana klaim yang disampaikan oleh HTI tersebut?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar