Senin, 11 November 2019

[Media_Nusantara] Prostitusi Dan Dominasi Arab di Kawasn Puncak Jawa Barat

 

Prostitusi Dan Dominasi Arab di Kawasn Puncak Jawa Barat
Akibatkan Krisis Identitas Masyarakat Lokal

Bagi warga Jakarta, kawasan Puncak di Bogor sudah merupakan daerah wajib kunjung sebagai pelampiasan kepenatan rutinitas.

Jadi ketika musim liburan tiba dan bahkan Weekend, warga Ibukota selalu berbondong-bondong menuju daerah wisata yang satu ini.

Selain jaraknya yang dekat dengan Jakarta, Kawasan Puncak memang menawarkan pemandangan alam khas pegunungan yang indah nan sejuk berbeda dengan Jakarta yang panas dan gersang.

Maka tak heran setiap Jumat Sore dan Minggu sore, jalan lintas Jakarta-Bogor selalu menjadi daerah yang rawan macet akibat arus pergi-pulangnya Warga DKI ke daerah pegunungan tersebut.

Walau tak sesejuk Prapat di Samosir atau Brastagi di Tanah Karo, setidaknya bagi Warga DKI yang terbiasa dengan kesibukan ibukota kawasan Puncak merupakan satu primadona wisata yang dekat.

Tidak hanya wisatawan Domestik dalam hal ini warga Jakarta, kesejukan Kawasan Puncak juga menjadi tempat favorit turis Timur Tengah yang seing disebut warga sekitar sebagai 'Orang Arab'.

Daerah yang banyak berdiri villa-villa ini ternyata memiliki wilayah sendiri yang dikhususkan untuk hunian orang Arab, yang disebut Kampung Arab saking seringnya dikunjungi oleh turis tersebut. Bahkan sejumlah tempat perbelanjaan, klub, restoran hingga tempat santai lainnya di Wilayah Cisarua, Puncak Bogor, tepatnya di sekitar Ciburial dan Warung Kaleng telah menggunakan bahasa Arab demi kelancaran komunikasinya.

Selain pengusaha Indonesia, banyak juga turis Arab tersebut yang membuka usaha di kawasan sejuk itu dengan ciri khas Timur tengah.

Jadi kedatangan mereka bukan menghabiskan uang untuk liburan, melainkan justru mengeruk uang dengan membuka tempat-tempat hiburan. Intensnya pola hidup ala Arab disana ternyata juga telah mempengaruhi kearifan lokal. Dan bahkan tukang ojek, supir, hingga anak-anak sudah fasih berbahasa Arab akibat dominasi Bangsa Timur tengah tersebut di sana.

Hal tersebut tentu saja bukan hal yang terlalu meresahkan. Kabar buruknya adalah tempat-tempat hiburan di daerah Kawasan Puncak ternyata banyak yang menjajakan pemuas birahi (PSK).

Kehidupan malam orang Arab di sana disebut kerap kali memanfaatkan wanita lokal sebagai pemuas birahi atau sekedar teman menginap. Tak hanya pribumi, turis-turis juga banyak yang beralih profesi menjadi PSK di daerah tersebut. Umumnya mereka menyewakan villa barang sebulan atau dua bulan sebagai tempat penginapan selama 'mengeruk uang' dari bisnis esek-esek. Seperti pengakuan seorang warga, Yaya yang dikutip dari merdeka.com.

"Satu vila bisa tiga sampai empat orang, Cewek Maroko itu harganya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta semalem," katanya.

Sementara itu seorang peneliti dan pengamat tata ruang Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustia menyebut bahwa Kawasan puncak sudah mulai terpengaruh kuat dengan budaya Arab yang menjadi dominan disana. Mirisnya kehidupan pribumi atau orang lokal yang hanya menjadi 'kacung' dan menikmati pekerjaan sebagai supir, waitres, pelayan dan lain sebagainya hanya bisa menyaksikan praktek prostitusi di daerah wisata tersebut.

Sementara itu, mengharapkan uang dari turis yang menjadi sumber penghasilan mereka. Inilah mungkin yang menjadi inti permasalahan yang dikhawatirkan Ernan.

"Masyarakat di kawasan Puncak menyadari situasi yang mereka hadapi, krisis identitas, bekerja sebagai penjaga vila yang identik dengan prostitusi dan persoalan sosial, belum lagi budaya Arab yang mulai masuk," jelas Erna (merdeka.com)

Hal-hal semacam ini tampaknya sudah lumrah terjadi di tempat wisata. Sebagai lokasi yang menawarkan kenyamanan, rasanya tak sedikit daerah wisata yang juga menyajikan bisnis esek-esek secara tertutup.

Apa yang perlu dilakukan pemerintah adalah agar lebih awas dan perduli terhadap persoalan yang merusak moral seperti yang terjadi di Puncak, Bogor. Mirisnya lagi, jika Orang luar negeri yang datang ke negara ini dan berbuat mesum sama saja tidak menghormati negara kita. Mengapa tidak melakukannya di negara mereka saja? Kalu perlu usir saja Turis yang seperti ini dari sana. Indonesia bukan tempat pelacuran dan kawin Kontrak!

Tapi kembali lagi, masyarakat kita yang masih banyak dari kalangan ekonomi bawah sangat mudah dibutakan akan penghasilan uang yang instan. Apapun dilakukan demi mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat.

Seperti halnya di Puncak marak terjadi kawin kontrak dan Prostitusi. Akibatnya lahirlah anak-anak yang tidak punya ayah dan seterusnya menjadi korban kemaksiatan orang tuanya. Jadi secara tak langsung, moral bangsa ini sedang diobok-obok orang asing tersebut. Pemerintahlah pihak yang harus lebih aktif mencari solusi untuk persoalan seperti ini.

Beberapa waktu lalu Walikota Surabaya, Tri Rismaharini tampil berani memberantas prostitusi di lokalisasi Dolly yang disebut lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Walau banyak menuai pro dan Kontra, Risma berani dan tegas untuk komitmen memberantasnya demi menjaga moral di kota Pahlawan tersebut.

Kini Kawasan Puncak mulai berkembang dan bisa jadi akan semakin besar bila tidak segera mendapatkan perhatian dan tindakan tegas dari Pemerintah.

Untuk itu, semoga saja berita buruk dari Kawasan Puncak ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan bukan hanya dianggap sebagai masalah kecil semata. Kalau tidak, semakin lama budaya Indonesia akan terkikis dari daerah tersebut dan yang paling mengkhawatirkan adalah kasus prostitusi aka beranak pinak di sana.

Apa Tri Rismaharini lagi yang harus turun tangan? Kita tunggu saja!





__._,_.___

Posted by: Komite Peduli Pendidikan <komitepeduli_pendidikan@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar