Senin, 01 Juni 2020

[Media_Nusantara] Perubahan Kekuatan Global: Is The American Century Over?

 

Perubahan Kekuatan Global: Is The American Century Over?

Secara umum American Century adalah sebuah terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kedigdayaan Amerika Serikat dengan segala keunggulan sumberdaya yang dimilikinya. Istilah American Century juga dimaknai sebagai era dimulainya hegemony Amerika Serikat. Namun, istilah tersebut masih absurd, kabur dan belum definitif. Setidaknya terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Diantaranya, bagaimana dan kapan American Century itu dimulai?, Variable apa saja yang digunakan sebagai indikator untuk menandai era American Century?. Selama pertanyaan ini belum terjawab dengan jelas, maka sulit bagi kita untuk menjawab pertanyaan utama "is the American Century over?".

Joseph Nye menawarkan tiga indikator untuk kategori hegemonic power: Economic power, Military power dan Soft power. 

Kebangkitan ekonomi AS pertama kali lahir di akhir abad-19, ketika AS menjadi negara industri terbesar melampaui Inggris dan negara-negara industri eropa lainnya. Pada awal abad-20, Amerika Serikat telah menyumbang hampir seperempat dari ekonomi dunia dan kemajuan ekonomi AS terus berlanjut hingga Perang Dunia Kedua. Dan periode setelah perang, Amerika Serikat telah menyumbang setengah dari ekonomi dunia. Tidak heran jika banyak menyebut abad-20 adalah era Pax Americana. Seperti Pax Britannica di abad-19 dan Pax Romana di Abad-15..

Walaupun AS telah menjadi negara dengan kekuatan Ekonomi terbesar sejak akhir abad-19, tetap saja AS belum menjadi pemain utama dalam percaturan politik global.  Sampai akhirnya, presiden Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson melakukan investasi besar-besaran untuk memperkuat kekuatan militer AS. Di era presiden Roosevelt, dibuat "The Great White Fleet" sebagai salah satu kapal perang terbesar di masanya. Kapal perang itu semuanya dicat putih dengan membawa American Flag, sebelum melaksanakan ekspedisi keliling dunia selama 2 tahun (1907-1909). Dalam diplomasi maritim tujuan ekspedisi ini juga disebut sebagai diplomasi "show the flag", Roosevelt ingin menunjukan kepada dunia tentang kekuatan militer AS di sektor maritim.

Selanjutnya, Amerika Serikat dianggap sebagai single hegemonic actor, persis setelah runtuhnya tembok Berlin dan Uni Soviet (1991). sejak itu, Sistem Internasional mulai bergeser ke arah unipolar, tidak ada lagi negara yang mampu memberikan perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap AS seperti yang dilakukan Soviet di era perang dingin. Fukuyama menyebutnya sebagai periode akhir sejarah (the end of the history) dengan kemenangan bagi ideologi Liberalisme. Bahkan Huntinton menulis tentang pergeseran karakteristik konflik dimasa akan datang melalui tesis "the clash of civilization". Tesis ini diangkat sebagai proyeksi perubahan bentuk perang konvensional ke bentuk perang baru (new wars) setelah runtuhnya Uni soviet.

Sejak Perang dunia kedua berakhir, Amerika Serikat terus memperluas ekspansi dan pengaruhnya baik secara politik maupun ekonomi. Tahun 1947 Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan baru yang dikenal sebagai "containment policy". Turunan dari kebijakan itu melahirkan Truman Doctrine dan Marshall Plan. Seperangkat kebijakan ini merupakan strategi AS untuk menangkal perluasan pengaruh Komunisme Soviet di Benua Biru. AS memberikan bantuan dana segar kepada negara-negara eropa barat, untuk melakukan economy recovery pasca perang. Termasuk bantuan untuk Turki dan Yunani, yang pada saat itu sedang menghadapi pergolakan internal akibat munculnya kelompok komunis secara masif.

Periode 1960-an Amerika Serikat mulai memperkuat cengkraman pengaruhnya di negara-negara berkembang seperti, Amerika Latin, Asia dan Afrika. Melalui proyek globalisasi ekonomi ala Neolib yang dijalankan dengan baik oleh IMF dan World Bank (Bretton Woods System). Proyek besar ini cukup berhasil menjebak banyak negara berkembang kedalam kubangan utang yang membuat mata rantai ketergantungan kepada AS seolah tak berujung. Struktur ekonomi global membentuk pola hirarkis dan AS berada pada puncak hirarki mengendalikan negara-negara di bawahnya. Dalam segitiga Liberalisme, Immanuel Kant menyebutnya sebagai Economic Interdependence.

(Banyak presiden negara-negara berkembang khususnya di Amerika Latin yang digulingkan bahkan dibunuh hanya karena menolak proyek globalisasi ekonomi ini. Kondisi itu masih berlangsung hingga saat ini. Lihat bagaimana di Bolivia, Evo Morales dilengserkan. Di Venezuela mulai dari era Hugo Chavez sampai Nicolas Maduro, AS terus melakukan intervensi secara ilegal untuk menggulingkan pemerintahan sah disana)

Distribution of Power: Transition and Diffusion

Konfigurasi politik global abad-21 sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Sistem internasional telah bergeser ke arah multipolar. Tidak ada lagi "single hegemonic actor". Polarisasai kekuasaan tidak lagi membentuk pola yang hirarkis, melainkan tersebar secara divergen dan membentuk keseimbangan baru (balance of power). Lahirnya negara-negara emerging power di Asia menjadi proses awal transisi kekuasaan dari Barat ke Timur. Lihat saja bagaimana China menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia dan banyak lembaga ekonomi dunia memprediksi bahwa China akan menjadi Top Global Economy di tahun 2030. Ini menandakan Power Transition itu tengah berlangsung saat ini. Itulah mengapa AS tidak membiarkan China melaju begitu saja tanpa hambatan dan gangguan, akhirnya kedua negara terlibat dalam Trade War. 

Disisi lain, perubahan konfigurasi kekuatan global juga disebabkan oleh power diffusion, yang ditandai dengan munculnya aktor-aktor non-state seperti MNC, NGO, IGO dan Terrorism Organization. Tidak bisa dipungkiri, aktor non-state memiliki peran dan andil yang sangat besar di abad-21, khsusunya dalam membentuk konfigurasi politik global. Lihat bagaimana perusahaan-perusahaan multi-nasional semakin digdaya dihadapan negara. Atau lihat juga bagaimana kelompok terorisme menjadi kekuatan proxy yang kuat untuk merongrong sebuah negara berdaulat, seperti yang terjadi di Timur tengah. 

China vs. AS

Saya terlanjur percaya bahwa setiap kawasan memiliki karakter konflik yang berbeda-beda. Konflik di kawasan Asia-Pasifik atau lebih khusus Konflik Laut China Selatan adalah konflik Ekonomi, dan sisanya adalah inter-state dispute. Berbeda dengan konflik di kawasan MENA atau lebih khusus di Timur-tengah, konfliknya adalah konflik politik. Sehingga, pendekatan analisisnya juga harus berbeda.

Singkatnya, China dengan mega proyek OBOR atau Belt Road Initiative telah menunjukan keberhasilan China menguasai jalur perdagangan internasional. Dimana 70% perdagangan internasional melewati LCS. Di masa pemerintahan Obama, digagas proyek tandingan dengan nama Trans-Pacific Partnership sebagai upaya AS untuk menekan laju perekonomian China. Tapi sepertinya China sudah maju terlalu jauh. Hanya perang besar yang bisa menghentikannya. Itu pilihan terburuk bagi AS.

Iran - Venezuela vs. AS

Pengaruh AS di kawasan Timur tengah terus melemah. Proyek timur tengah raya yang digagas oleh AS-Israel melalui serangkaian konspirasi jahat, terus mengalami kebuntuan dan kegagalan akibat perlawanan sengit dari seluruh kelompok muqawamah di kawasan. Berbagai skenario dan skema busuk Arab Spring, terhenti dan gagal di Suriah, Iraq dan Yaman. Proyek The Greater Israel masih menjadi tumpukan kertas dalam dokumen Yinon Plan. Dan kini kelompok muqawamah tengah berjuang untuk mengusir pasukan AS, keluar dari Iraq dan seluruh kawasan Timur-tengah. jika itu berhasil, maka AS telah kalah di kawasan dan kehancuran Israel sudah di depan mata. Semua itu tidak terlepas dari peran Iran yang sejak awal komitmen dan konsisten berada digaris perlawanan menentang arogansi dan kezaliman poros setan AS-Israel di kawasan. Jelas Iran adalah ancaman besar bagi dominasi Israel-AS di kawasan untuk saat ini dan di masa akan datang. Ditambah lagi, gelora perlawanan negara-negara yang menolak tunduk pada arogansi AS akan terus berkobar dan akan membentuk poros perlawanan secara global, seperti yang sedang terlihat saat ini, poros Iran-Venezuela. Jika garis porosnya ditarik lebih luas maka akan terlihat poros yg lebih besar, di dalamnya ada China dan Rusia.  Keberhasilan kapal tanker Iran memasuki perairan Venezuela hanyalah salah satu kemenagan kecil dan taktis. Kemenangan Besar hanya bisa diraih dalam Perang Besar (menantikan laga pamungkas akhir zaman)

Mitos Amerika Sebagai Negara Hegemonik

Henry Kissinger pernah mengatakan "no truly global world order has ever existed".

Tidak ada satupun negara yang benar-benar pantas disebut sebagai global hegemonic, selama negara negara besar seperti China, Rusia, India, Indonesia, Iran, Brazil belum "ditaklukan". 

Oleh karena itu, Joseph Nye menyebut kekuatan hegemoni Amerika lebih pantas disebut sebagai "Half-Hegemony". Bukan Global Hegemonic.

Finally, AS sebagai kekuatan hegemonik global hanyalah sebuah mitos, yang di dalamnya lebih banyak mengandung cerita fiksi daripada fakta. Cerita tentang kekuatan Militer AS yang kuat dan canggih, hanya ditemukan dalam film-film Hollywood. Bukan dalam dunia nyata. 

Amerika Serikat akan seperti Dinosaurus yang terlanjur punah sebelum berhasil menguasai dunia.


Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

__._,_.___

Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar