Perlu Ketegasan Pemerintah Dan Peran Masyarakat Untuk Berantas Narkoba
Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa narkoba adalah musuh bersama. Namun Kepala Departemen Pengabdian dan Pelayanan Masyarakat DPP Granat (Gerakan Anti Narkoba), Brigjen Pol (Purn) Simson Sugiarto mengatakan semakin hari peredaran narkoba semakin memprihatinkan.
"Dalam reformasi ada 3 isu, korupsi, teror dan narkoba, dan ini (pemberantasan narkoba) bagian dari reformasi, di mana BNN sebagai leading sector. Suka tidak suka, BNN ini adalah leading sector sehingga tidak ke mana-mana," ujar Simson dalam dialog Polri tentang liku pemberantasan narkoba di Journey Coffee, Kebayoran Baru, Rabu (7/9/2016).
Simson mengatakan, apa pun persoalan yang terjadi dalam pemberantasan narkoba di Indonesia, seluruh pihak harus ikut andil. Tak hanya BNN, namun juga Polri dan masyarakat.
"Oleh karena itu apa pun persoalannya, kalau UU (tentang pemberantasan narkoba) itu kurang, mari diperbaiki, tapi kalau leading sector-nya pemberantasan dan pencegahan, mari kita bersama-sama," jelasnya.
Namun, apabila upaya yang dilakukan seluruh elemen, seperti Polri dan BNN tak berjalan mulus, dirinya menyarankan Presiden Joko Widodo turun langsung dalam pemberantasan narkoba di Indonesia, seperti halnya yang dilakukan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
"Bila perlu Presiden yang turun tangan secara langsung untuk memimpin (pemberantasan narkoba) seperti Presiden Filipina. Masa kita mau menuju kehancuran?" kata dia.
Sementara itu psikolog Nova Riyanti Yusuf mengatakan masih ada stigmatisasi terhadap para pengguna narkoba yang akan dan ingin direhabilitasi. Masyarakat di Indonesia masih melihat para pecandu atau pengguna ini sebagai 'sampah masyarakat' sehingga tak memerlukan bimbingan.
"Semua tergantung stigmatisasi masyarakat kita terhadap pengguna narkoba," ujar Nova yang akrab dipanggil Noriyu ini.
Mantan wakil ketua komisi IX DPR tahun 2009-2014 ini menjelaskan perbedaan proses rehabilitasi antara dewasa dan anak-anak. Untuk para anak yang diberi ukuran berumur di bawa 18 tahun, harus ada bimbingan dari banyak pihak karena di umur itu kepribadian anak belum terbentuk.
"Karena itu anak masih butuh guidance dari orangtua atau wali. Memang harus ada strong will (keinginan kuat) dari diri sendiri, namun harus ada yang menemani dia untuk menyadarkan dia tentang siapa dirinya," jelas Noriyu.
Dia mengatakan, ada psikoterapi yang membangun kesadaran dari dalam. Namun semua tergantung niat dan keinginan si pengguna untuk sembuh.
"Untung ada yang sadar, kalau enggak? Itu adalah tugas dari dokter jiwa atau orang lain, figur lain, Entah psikolog atau sosok lain yang bisa membantu dia. Walau sulit, tapi masih bisa ditangani," ujar dia.
"Kalau kita bisa melihat dia (pengguna narkoba) sebagai manusia, maka kita bisa prevent (mencegah), maka kita bisa memperbaiki (mereka). Tapi kalau terlanjur kita menganggap mereka sebagai sampah ya mereka akan balik lagi ke lapas atau lingkungan lama yang penuh pengedar narkoba, dan siklus itu akan terus berulang. Sehingga PR-nya masih panjang," tutupnya.
"Dalam reformasi ada 3 isu, korupsi, teror dan narkoba, dan ini (pemberantasan narkoba) bagian dari reformasi, di mana BNN sebagai leading sector. Suka tidak suka, BNN ini adalah leading sector sehingga tidak ke mana-mana," ujar Simson dalam dialog Polri tentang liku pemberantasan narkoba di Journey Coffee, Kebayoran Baru, Rabu (7/9/2016).
Simson mengatakan, apa pun persoalan yang terjadi dalam pemberantasan narkoba di Indonesia, seluruh pihak harus ikut andil. Tak hanya BNN, namun juga Polri dan masyarakat.
"Oleh karena itu apa pun persoalannya, kalau UU (tentang pemberantasan narkoba) itu kurang, mari diperbaiki, tapi kalau leading sector-nya pemberantasan dan pencegahan, mari kita bersama-sama," jelasnya.
Namun, apabila upaya yang dilakukan seluruh elemen, seperti Polri dan BNN tak berjalan mulus, dirinya menyarankan Presiden Joko Widodo turun langsung dalam pemberantasan narkoba di Indonesia, seperti halnya yang dilakukan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.
"Bila perlu Presiden yang turun tangan secara langsung untuk memimpin (pemberantasan narkoba) seperti Presiden Filipina. Masa kita mau menuju kehancuran?" kata dia.
Sementara itu psikolog Nova Riyanti Yusuf mengatakan masih ada stigmatisasi terhadap para pengguna narkoba yang akan dan ingin direhabilitasi. Masyarakat di Indonesia masih melihat para pecandu atau pengguna ini sebagai 'sampah masyarakat' sehingga tak memerlukan bimbingan.
"Semua tergantung stigmatisasi masyarakat kita terhadap pengguna narkoba," ujar Nova yang akrab dipanggil Noriyu ini.
Mantan wakil ketua komisi IX DPR tahun 2009-2014 ini menjelaskan perbedaan proses rehabilitasi antara dewasa dan anak-anak. Untuk para anak yang diberi ukuran berumur di bawa 18 tahun, harus ada bimbingan dari banyak pihak karena di umur itu kepribadian anak belum terbentuk.
"Karena itu anak masih butuh guidance dari orangtua atau wali. Memang harus ada strong will (keinginan kuat) dari diri sendiri, namun harus ada yang menemani dia untuk menyadarkan dia tentang siapa dirinya," jelas Noriyu.
Dia mengatakan, ada psikoterapi yang membangun kesadaran dari dalam. Namun semua tergantung niat dan keinginan si pengguna untuk sembuh.
"Untung ada yang sadar, kalau enggak? Itu adalah tugas dari dokter jiwa atau orang lain, figur lain, Entah psikolog atau sosok lain yang bisa membantu dia. Walau sulit, tapi masih bisa ditangani," ujar dia.
"Kalau kita bisa melihat dia (pengguna narkoba) sebagai manusia, maka kita bisa prevent (mencegah), maka kita bisa memperbaiki (mereka). Tapi kalau terlanjur kita menganggap mereka sebagai sampah ya mereka akan balik lagi ke lapas atau lingkungan lama yang penuh pengedar narkoba, dan siklus itu akan terus berulang. Sehingga PR-nya masih panjang," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar