Skandal Pembangunan Puspa Agro oleh BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) PT Jatim Graha Utama (PT JGU)
SURABAYA – Aroma skandal pembangunan Pasar Puspa Agro oleh BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) PT Jatim Graha Utama (PT JGU), kini kian menguat. Hasil investigasi team Surabaya Pagi yang didukung beberapa LSM pertanian, menemukan indikasi kuat bahwa megaproyek yang menghabiskan dana APBD Provinsi Jawa Timur, yang hingga awal tahun 2012 Rp 450 miliar itu hanya akal-akalan untuk mengeruk uang negara. Megaproyek ini disinyalir kolusi Penguasa dan pengusaha sejak era Gubernur Jatim Imam Utomo. Adalah wajar jika kemudian, kalangan DPRD Jatim merekomendasikan agar pasar induk modern ini ditutup secepatnya. Dan Pengelola PT Jatim Graha Utama Satriagung Erlangga dimintai pertanggungjawabkan keuangan, karena dia pengusaha swasta yang mengelola uang Negara.
Demikian informasi dan data yang dikumpulkan Surabaya Pagi, sampai Minggu siang (5/8). Data yang diperoleh Surabaya Pagi, sejak awal penyerahan pengelolaan Pasar Induk Agrobisnis (PIA), kepada PT JGU, telah menghabiskan uang negara sekitar Rp 450 miliar. Bahkan dari data pemprov Jatim, anggaran sebesar itu secara rinci tertuang dalam peraturan Gubernur sepanjang tahun 2009 hingga 2010. Indikasi kuat, dana rakyat itu dipakai bisnis properti yang dikelola Satryagung, karena sejak awal dia pengusaha properti. Apalagi kini, ia merangkap menjadi ketua REI (Real Estate Indonesia) cabang Jawa Timur. Oleh karena itu, kini BPK dan KPK diminta turun tangan untuk melakukan audit investigasi terhadap PT Jatim Graha Utama. Lokasi yang dikelola PT Jatim Graha Utama adalah lahan bangunan di Pasar Induk Agrobisnis (PIA) di Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Pembebasan tanah itu juga sudah bermasalah dengan melibatkan tengkulak tanah Jacobus, dkk.
Meski anggaran cukup besar, namun faktanya, Pasar Puspa Agro tidak pernah ramai. Selain sepi pembeli, pasar yang dibangun di areal lahan seluas 50 hektar dengan lokasi yang tidak layak itu kini mulai ditinggal pedagang dan kelompok petani. Para pedagang merasa rugi jika meneruskan usahanya di Puspa Agro.
"Kalau dulu malam masih ramai, sekarang pagi atau malam juga sepi, saya sudah tidak buka stand sebulan, mungkin habis lebaran tidak jualan lagi di sini," keluh Herman, pedagang buah di blok buah-buahan bagian belakang Pasar Puspa Agro, saat ditemui akhir pekan lalu.
Sejak awal, pembangunan PIA ini kerap tersandung masalah. Termasuk ketika hendak dibangun. Ternyata investor PT Pilar 45 yang sedianya membangun PIA dicoret oleh pemprov dengan alasan wanprestasi. Meski kasak-kusuk di luar menyebut, investorlah yang membatalkan diri mengingat prospek bisnis PIA di Desa Jemundo Sidoarjo kurang layak jual.
Namun, kabar tersebut tidak menyurutkan pemprov Jatim beserta DPRD Jatim untuk ngotot membangun pusat perdagangan produk pertanian dan holtikultura tersebut. Apalagi, lahannya sudah telanjut dibeli dengan dana cukup besar. Pemprov dan DPRD Jatim pun berkomplot bersama Dirut PT JGU Erlangga Satriagung untuk meneruskan proyek yang banyak diprediksi bakal sia-sia itu.
Alhasil, pada tahun 2008, PT Jatim Grha Utama ditunjuk gubernur sebagai pengelola Pasar Induk Agrobisnis yang kemudian merubah nama menjadi Pasar Puspa Agro, diatur dalam Perda No 13/2008 tentang Perubahan atas Perda No 14/2005 tentang PT Jatim Grha Utama (JGU) yang digedok oleh DPRD Jatim periode 2004-2009. Dalam perubahan Perda No 13/2008, pasal 10 ayat 2 ditambahi huruf (d) yang mengatur tentang tanah untuk pembangunan Pasar Induk Agribisnis (PIA) diserahkan kepada PT JGU.
Tanah tersebut terdiri dari satu, seluas 476.434 m2 terletak di Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Kedua, tanah seluas 12.316 m2 terletak di Desa Kletek Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo dan ketiga, tanah seluas 121.434 m2 terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.
Setelah Perda tersebut digedok, tahun 2009 pada awal Gubernur Soekarwo menjabat, langsung mengeluarkan Peraturan Gubernur No 39/2009 tentang penyerahan aset pemprov sebagai tambahan modal PT JGU. Di Pergub itu diatur pada Pasal 1 PT JGU diberi modal Rp 135.072.114.000. Dengan perincian : Lahan Pasar Induk Agribisnis (PIA) di Desa Jemundo seluas 476.434 M2 senilai Rp.61.902.685.000, termasuk biaya pembebasan lahan, pengurukan lahan seluas 308.112 M2 berikut perencanaan dan pengawasannya.
Lalu, tanah untuk rencana akses jalan senilai Rp 23.500.000.000, termasuk 4 bidang yang sudah bersertifikat atas nama Pemerintah Provinsi seluas 12.316 M2 ; ditambah tanah sarana penunjang di Desa Tanjungsari Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo seluas 121.434 M2 senilai Rp 7.456.645.000. Serta untuk pembangunan Rusunawa. Alokasi penyertaan tersebut masuk dalam APBD murni tahun 2009.
Tak cukup itu, pada Perubahan APBD 2009 Gubernur Soekarwo mengeluarkan lagi Pergub No 72/2009. Dalam aturan tersebut dikucurkan lagi dana untuk Pasar Modern Puspa Agro Rp 162 miliar melalui PAK APBD 2009. Tak berhenti sampai di situ, tahun 2009 keluar lagi Pergub No 39/2010 tentang penambahan modal kepada PT JGU sebesar Rp 50 miliar melalui APBD 2010 dan Pergub No 100/2010 tentang penambahan modal PT JGU sebesar Rp 36 miliar melalui P-APBD 2010.
Informasinya, tahun 2011 APBD Jatim juga keluar dana lagi untuk pengelolaan Puspa Agro melalui PT JGU dengan nilai yang masih misterius. Ada yang menyebut Rp 36 miliar, dan ada yang menyatakan Rp 50 miliar. "Seingat saya (Puspa Agro) dapat anggaran lagi tahun 2011, tapi nilainya saya lupa," kata Anwar Sadad, anggota Komisi B DPRD Jatim.
Melihat kucuran dana yang sangat besar, namun tidak diimbangi dengan setoran PAD (Pendapatan Asli Daerah), PT JGU ini akhir pekan lalu diminta tutup oleh sejumlah anggota DPRD Jatim. "Pertimbangan kami tidak main-main, bangunan Puspa Agro semegah itu tidak ada manfaatnya untuk masyarakat dan petani Jawa Timur. Buat apa diteruskan. Nanti malah membebani uang negara saja," cetus Sabron Djamil Pasaribu, Ketua Komisi A DPRD Jatim.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Utama PT JGU Erlangga Satriagung membantah jika dirinya gagal mengelola Pasar Puspa Agro. Ia mengatakan, memang pada awalnya, dirinya diserahi pembangunan PIA sedang dalam kondisi kritis. "Dalam kelola Puspa Agro, kami tidak hanya membenahi dari nol, tapi sudah minus. Ibarat mobil, PIA dulu adalah mobil rusak, tapi kami tidak putus asa," ujar Erlangga.
Erlangga mengakui bahwa Pasar Puspa Agro ini kurang begitu ramai. Itu disebabkan oleh banyak hal, selain masalah jalan akses yang belum tuntas. "Membangun pasar itu memang tidak gampang, beri saya waktu tujuh tahun lah," cetusnya yang juga Ketua REI Jatim.
Sementara itu Ketua LSM Aset Pemerintah Provinsi, Bibit Bibiono, mengatakan bahwa dana APBD Jatim yang cair ke PT JGU sudah terjadi sejak tahun 2009. Sedangkan yang bermasalah adalah pembebasan lahan pada tahun 2005. Dengan demikian, beberapa anggota DPRD Jatim, menilai kalau Erlangga menyebut Puspa Agro ketika dikelola sudah minus, yang paling tahu adalah Eirlangga. "Pak Erlangga itu pengusaha dan bukan politikus. Apalagi pernah jadi ketua Kadinda. Mosok pengusaha sekaliber Erlangga, mau menerima proyek minus. Omong kosong. Untuk membuktikan omongan Erlangga Puspo minus, kita minta BPK mengaudit secara investigasi PT JGU sebagai BUMD pengelola Puspa Agro'' jelas Bibit didampingi Sekretarisnya Ariyanto SH, MH. n team
Demikian informasi dan data yang dikumpulkan Surabaya Pagi, sampai Minggu siang (5/8). Data yang diperoleh Surabaya Pagi, sejak awal penyerahan pengelolaan Pasar Induk Agrobisnis (PIA), kepada PT JGU, telah menghabiskan uang negara sekitar Rp 450 miliar. Bahkan dari data pemprov Jatim, anggaran sebesar itu secara rinci tertuang dalam peraturan Gubernur sepanjang tahun 2009 hingga 2010. Indikasi kuat, dana rakyat itu dipakai bisnis properti yang dikelola Satryagung, karena sejak awal dia pengusaha properti. Apalagi kini, ia merangkap menjadi ketua REI (Real Estate Indonesia) cabang Jawa Timur. Oleh karena itu, kini BPK dan KPK diminta turun tangan untuk melakukan audit investigasi terhadap PT Jatim Graha Utama. Lokasi yang dikelola PT Jatim Graha Utama adalah lahan bangunan di Pasar Induk Agrobisnis (PIA) di Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Pembebasan tanah itu juga sudah bermasalah dengan melibatkan tengkulak tanah Jacobus, dkk.
Meski anggaran cukup besar, namun faktanya, Pasar Puspa Agro tidak pernah ramai. Selain sepi pembeli, pasar yang dibangun di areal lahan seluas 50 hektar dengan lokasi yang tidak layak itu kini mulai ditinggal pedagang dan kelompok petani. Para pedagang merasa rugi jika meneruskan usahanya di Puspa Agro.
"Kalau dulu malam masih ramai, sekarang pagi atau malam juga sepi, saya sudah tidak buka stand sebulan, mungkin habis lebaran tidak jualan lagi di sini," keluh Herman, pedagang buah di blok buah-buahan bagian belakang Pasar Puspa Agro, saat ditemui akhir pekan lalu.
Sejak awal, pembangunan PIA ini kerap tersandung masalah. Termasuk ketika hendak dibangun. Ternyata investor PT Pilar 45 yang sedianya membangun PIA dicoret oleh pemprov dengan alasan wanprestasi. Meski kasak-kusuk di luar menyebut, investorlah yang membatalkan diri mengingat prospek bisnis PIA di Desa Jemundo Sidoarjo kurang layak jual.
Namun, kabar tersebut tidak menyurutkan pemprov Jatim beserta DPRD Jatim untuk ngotot membangun pusat perdagangan produk pertanian dan holtikultura tersebut. Apalagi, lahannya sudah telanjut dibeli dengan dana cukup besar. Pemprov dan DPRD Jatim pun berkomplot bersama Dirut PT JGU Erlangga Satriagung untuk meneruskan proyek yang banyak diprediksi bakal sia-sia itu.
Alhasil, pada tahun 2008, PT Jatim Grha Utama ditunjuk gubernur sebagai pengelola Pasar Induk Agrobisnis yang kemudian merubah nama menjadi Pasar Puspa Agro, diatur dalam Perda No 13/2008 tentang Perubahan atas Perda No 14/2005 tentang PT Jatim Grha Utama (JGU) yang digedok oleh DPRD Jatim periode 2004-2009. Dalam perubahan Perda No 13/2008, pasal 10 ayat 2 ditambahi huruf (d) yang mengatur tentang tanah untuk pembangunan Pasar Induk Agribisnis (PIA) diserahkan kepada PT JGU.
Tanah tersebut terdiri dari satu, seluas 476.434 m2 terletak di Desa Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Kedua, tanah seluas 12.316 m2 terletak di Desa Kletek Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo dan ketiga, tanah seluas 121.434 m2 terletak di Desa Tanjungsari Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo.
Setelah Perda tersebut digedok, tahun 2009 pada awal Gubernur Soekarwo menjabat, langsung mengeluarkan Peraturan Gubernur No 39/2009 tentang penyerahan aset pemprov sebagai tambahan modal PT JGU. Di Pergub itu diatur pada Pasal 1 PT JGU diberi modal Rp 135.072.114.000. Dengan perincian : Lahan Pasar Induk Agribisnis (PIA) di Desa Jemundo seluas 476.434 M2 senilai Rp.61.902.685.000, termasuk biaya pembebasan lahan, pengurukan lahan seluas 308.112 M2 berikut perencanaan dan pengawasannya.
Lalu, tanah untuk rencana akses jalan senilai Rp 23.500.000.000, termasuk 4 bidang yang sudah bersertifikat atas nama Pemerintah Provinsi seluas 12.316 M2 ; ditambah tanah sarana penunjang di Desa Tanjungsari Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo seluas 121.434 M2 senilai Rp 7.456.645.000. Serta untuk pembangunan Rusunawa. Alokasi penyertaan tersebut masuk dalam APBD murni tahun 2009.
Tak cukup itu, pada Perubahan APBD 2009 Gubernur Soekarwo mengeluarkan lagi Pergub No 72/2009. Dalam aturan tersebut dikucurkan lagi dana untuk Pasar Modern Puspa Agro Rp 162 miliar melalui PAK APBD 2009. Tak berhenti sampai di situ, tahun 2009 keluar lagi Pergub No 39/2010 tentang penambahan modal kepada PT JGU sebesar Rp 50 miliar melalui APBD 2010 dan Pergub No 100/2010 tentang penambahan modal PT JGU sebesar Rp 36 miliar melalui P-APBD 2010.
Informasinya, tahun 2011 APBD Jatim juga keluar dana lagi untuk pengelolaan Puspa Agro melalui PT JGU dengan nilai yang masih misterius. Ada yang menyebut Rp 36 miliar, dan ada yang menyatakan Rp 50 miliar. "Seingat saya (Puspa Agro) dapat anggaran lagi tahun 2011, tapi nilainya saya lupa," kata Anwar Sadad, anggota Komisi B DPRD Jatim.
Melihat kucuran dana yang sangat besar, namun tidak diimbangi dengan setoran PAD (Pendapatan Asli Daerah), PT JGU ini akhir pekan lalu diminta tutup oleh sejumlah anggota DPRD Jatim. "Pertimbangan kami tidak main-main, bangunan Puspa Agro semegah itu tidak ada manfaatnya untuk masyarakat dan petani Jawa Timur. Buat apa diteruskan. Nanti malah membebani uang negara saja," cetus Sabron Djamil Pasaribu, Ketua Komisi A DPRD Jatim.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Utama PT JGU Erlangga Satriagung membantah jika dirinya gagal mengelola Pasar Puspa Agro. Ia mengatakan, memang pada awalnya, dirinya diserahi pembangunan PIA sedang dalam kondisi kritis. "Dalam kelola Puspa Agro, kami tidak hanya membenahi dari nol, tapi sudah minus. Ibarat mobil, PIA dulu adalah mobil rusak, tapi kami tidak putus asa," ujar Erlangga.
Erlangga mengakui bahwa Pasar Puspa Agro ini kurang begitu ramai. Itu disebabkan oleh banyak hal, selain masalah jalan akses yang belum tuntas. "Membangun pasar itu memang tidak gampang, beri saya waktu tujuh tahun lah," cetusnya yang juga Ketua REI Jatim.
Sementara itu Ketua LSM Aset Pemerintah Provinsi, Bibit Bibiono, mengatakan bahwa dana APBD Jatim yang cair ke PT JGU sudah terjadi sejak tahun 2009. Sedangkan yang bermasalah adalah pembebasan lahan pada tahun 2005. Dengan demikian, beberapa anggota DPRD Jatim, menilai kalau Erlangga menyebut Puspa Agro ketika dikelola sudah minus, yang paling tahu adalah Eirlangga. "Pak Erlangga itu pengusaha dan bukan politikus. Apalagi pernah jadi ketua Kadinda. Mosok pengusaha sekaliber Erlangga, mau menerima proyek minus. Omong kosong. Untuk membuktikan omongan Erlangga Puspo minus, kita minta BPK mengaudit secara investigasi PT JGU sebagai BUMD pengelola Puspa Agro'' jelas Bibit didampingi Sekretarisnya Ariyanto SH, MH. n team
PT JGU Bisnis Akal-Akalan
SURABAYA PAGI - Bisnis PT Jatim Grha Utama (PT.JGU) penuh misteri. Core business-nya (bisnis utamanya) properti dengan modal dari Pemprov Rp 50 miliar. Tapi sejak tahun 2008 dikucuri dana dari APBD Jatim sampai tahun 2011 sampai Rp 500 miliar untuk pengelolaan agrobisnis. Tidak jelas bagaimana penempatan dana milik rakyat itu. Yang tidak masuk akal untuk ukuran bisnis yang dikelola BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) adalah dengan tambahan modal Rp 500 Miliar. PT JGU yang dinahkodai Ir. Erlangga Satriagung, hanya menyetor ke PAD (Pendapatan Asli Daerah) Rp 1 miliar. Banyak pengusaha yang mempertanyakan kinerja Erlangga, main-main atau ada kesengajaan melakukan penggerogotan uang negara melalui proyek Puspa Agro. Beberapa pengusaha itu membandingkan bila dana Rp 500 M itu didepositokan di bank pemerintah tanpa resiko. Dengan bunga deposito 9 persen, seharusnya Pemprov Jatim menikmati Income dari bunga sebesar Rp 40 miliar.
Oleh karena itu, LSM Asset Pemprov Jatim akan bekerjasama dengan BPK dan KPK untuk mengamankan dana penyertaan dari Pemprov, agar tidak makin parah. LSM pimpinan Bibit Bibiono itu akan mendatangi pimpinan DPRD Jatim agar menghentikan pengucuran dana ke PT JGU dan membentuk tim investigasi menyertakan masyarakat, akademisi dan ahli hukum. Karena ada bau konspirasi antara pejabat Pemprov. Pengusaha swasta yang dipercaya mengelola PT JGU dan sejumlah politikus.
"KPK harus turun tangan secepatnya. Kalau KPK sudah turun di Semarang menyeret Walikota Semarang, saatnya KPK menyeret pejabat,pengusaha dan politikus di Jatim yang terlibat dalam persekongkolan bisnis di PT JGU," tandas Bibit, di kantornya bersama dua ahli hukum dan pakar pertanian, Senin sore kemarin (6/8).
Sarat Konspirasi
Pasar induk Puspa Agro yang dikelola PT Jatim Grha Utama (PT JGU) memiliki sejarah singkat yang sarat konspirasi. Selama mengelola Puspa Agro itu, Erlangga Satriagung selaku direktur utama PT JGU tak mampu mendongkrak kinerja BUMD milik Pemprov Jawa Timur itu. Padahal, sudah menghabiskan dana APBD hingga Rp 500 miliar. Justru PT JGU memperoleh pendapatan dari sektor properti. Diduga ada konspirasi terselubung, mengingat Erlangga selain dikenal sebagai Ketua Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur, dia juga dekat dengan pejabat pemerintahan.
Data yang diperoleh Surabaya Pagi, Senin (6/8), PT JGU pada awalnya merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Jatim dengan bidang bisnis properti. Ini seperti tercantum dalam Perda No 14 tahun 2005 tentang pembentukan BUMD PT JGU. Namun pada tahun 2008, tiba-tiba PT JGU ditunjuk begitu saja untuk mengelola pasar induk Agrobis (PIA) yang sebelumnya penuh masalah korupsi.
PT JGU sendiri merupakan perusahaan BUMD yang didirikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang diwakili oleh Gubernur Jawa Timur kala itu Imam Utomo, dan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Duduk sebagai Komisaris Utama PT JGU adalah Drs. Nurwiyatno sekarang kepala Badan Pengelola Keuandan Daerah (BPKAD) Jatim, dengan anggota komisaris lainnya seperti Ir. R.M.A. Amirullah Soerjolelono S (mantan Kepala Bapeda era Gubernur Imam Utomo), Ir. Gatot Indrajid, MM, Syaiful Ismail, SE dan Ir. Muh. Ludfy, SH, MH. Ditunjuk dalam rapat RUPS, Ir. Erlangga Satriagung sebagai direktur utama sampai hari ini.
Pendirian PT JGU juga dilengkapi dengan akte Perusahaan No.10 (Notaris.Kosidi Wirjohardjo.SH) tanggal 24-11-2006. Awal perjalananya, PT JGU disupport modal senilai Rp 50 miliar dari APBD Jatim. Namun dalam akte pendirian awal tertulis rincian saham dari APBD Jatim sebesar 99% atau 49.500.000.000 dan 1% atau Rp 500.000.000 dari Koperasi Karyawan Pegawai Negeri Pemerintah Propinsi.
Namun sejak tahun 2008, PT JGU tiba-tiba berubah fungsi. Kala itu diperkuat dengan pembahasan revisi Perda menjadi Perda No 13/2008. Dalam revisi perda itulah, muncul penunjukkan PT JGU untuk mengelola penuh pembangunan serta manajemen pasar induk agrobisnis di desa Jemundo, Kecamtan Taman, Sidoarjo yang pada tahun 2010 berubah nama menjadi pasar Puspa Agro.
Tak hanya pembangunan dan pengelolaan, seluruh aset tanah seluas 50 hektar di Puspa Agro juga diserahkan kepada PT JGU. Pasca diserahkan itulah, PT JGU terus-terusan mendapat suntikan dana APBD dari tahun 2009 hingga tahun 2011 dengan nilai total hampir Rp 450 miliar. Maka secara global, APBD Jatim yang sudah mengalir ke PT JGU ini Rp 500 miliar.
Lantas bagaimana hasil dari suntikan dana tersebut? Hingga detik ini masyarakat Jawa Timur banyak yang bertanya-tanya. Pasalnya, megaproyek Puspa Agro yang menjadi alat PT JGU untuk mendapatkan kucuran dana, ternyata tidak menunjukkan perkembangan apa-apa. Bahkan blok-blok pasar itu kini mulai ditinggal pedagang, petani serta pembeli.
Gubernur Jatim Soekarwo juga mengakui kurang maksimalnya kinerja PT JGU dalam mengelola pasar Puspa Agro. "Masukan ini kami tampung, nanti (PT JGU) saya evaluasi," ujar Gubernur saat ditanya tentang kinerja PT JGU dalam mengelola Pasar Puspa Agro, petang kemarin (6/8).
Meski begitu, lanjut Gubernur, PT JGU sudah untung cukup lumayan. Hanya saja untungnya masih pada bisnis properti. Sedangkan dari puspa Agro, belum. Lebih lanjut, Gubernur berpendapat, perlu dibedakan peran dan fungsi BUMD tidak semuanya profit oriented. Karena tidak semuanya harus berpatokan pada efisien atau bicara untung rugi. Sebab pemanfaatan anggaran untuk puspa Agro untuk kepentingan masyarakat luas. Dana besar belum tentu diikuti langsung dengan dampak bagi masyarakat.
"Puspa Agro memang (pemanfaatan bagi masyakat) belum tebal, tapi sudah menjadi tempat bertemunya pedagang dan pembeli sudah jalan. Pasar grosirnya belum jalan, karena kultur masyarakat kita belum ke situ," cetus pejabat yang akrab disapa Pakde Karwo ini.
Tidak Maksimal
Anggota Komisi C DPRD Jatim, Suli Daim, juga setuju PT JGU dievaluasi. Ia mengakui kurang maksimalnya kinerja PT JGU dalam mengelola pasar Puspa Agro. Pasalnya hingga 2 tahun diresmikan, masih saja sepi. Padahal harapan masyarakat Jatim sangat besar terhadap Puspa Agro untuk memberikan ruang bagi petani agar dapat menstabilkan harga di musim panen.
"Karenanya kinerja manajemen PT JGU sangat diharapkan adanya terobosan yang mendorong perputaran produk pertanian betul-betul menjadi pasar petani bukan pasar yang mengklaim ini pasar petani," sindir Suli Daim dikonfirmasi terpisah.
Pernyataan ini bukan tidak berdasar. Apalagi uang rakyat yang dikeluarkan untuk Puspa Agro sangat luar biasa besar. Seharusnya sebanding dengan pemanfaatan yang harus diperoleh masyarakat, terutama kaum petani dan pedagang produk unggulan Jawa Timur. "Hasilnya ya bisa dilihat, belum kelihatan sampai sekarang. Bagi kita multiplayer effect-nya untuk masyarakat Jatim itu penting sekali, termasuk peningkatan deviden ya sangat diharapkan tentunya," papar Suli.
Komisi C sendiri, selalu dilapori kinerja PT JGU yang seolah-olah sempurna. Dengan membawa setoran pendapatan asli daerah (PAD) atau deviden dari PT JGU. Deviden ke pemprov tahun 2009 Rp 1 miliar, tahun 2010 Rp 1,7 miliar dan tahun 2011 Rp 1,9 miliar.
"Selama ini laporannya ya global, tidak dirinci dari Puspa Agro berapa lalu dari usaha properti berapa. JGU tidak ada penjelasan secara parsial. Anggapan kami JGU ya Puspa Agro," tandasnya. n tim
Oleh karena itu, LSM Asset Pemprov Jatim akan bekerjasama dengan BPK dan KPK untuk mengamankan dana penyertaan dari Pemprov, agar tidak makin parah. LSM pimpinan Bibit Bibiono itu akan mendatangi pimpinan DPRD Jatim agar menghentikan pengucuran dana ke PT JGU dan membentuk tim investigasi menyertakan masyarakat, akademisi dan ahli hukum. Karena ada bau konspirasi antara pejabat Pemprov. Pengusaha swasta yang dipercaya mengelola PT JGU dan sejumlah politikus.
"KPK harus turun tangan secepatnya. Kalau KPK sudah turun di Semarang menyeret Walikota Semarang, saatnya KPK menyeret pejabat,pengusaha dan politikus di Jatim yang terlibat dalam persekongkolan bisnis di PT JGU," tandas Bibit, di kantornya bersama dua ahli hukum dan pakar pertanian, Senin sore kemarin (6/8).
Sarat Konspirasi
Pasar induk Puspa Agro yang dikelola PT Jatim Grha Utama (PT JGU) memiliki sejarah singkat yang sarat konspirasi. Selama mengelola Puspa Agro itu, Erlangga Satriagung selaku direktur utama PT JGU tak mampu mendongkrak kinerja BUMD milik Pemprov Jawa Timur itu. Padahal, sudah menghabiskan dana APBD hingga Rp 500 miliar. Justru PT JGU memperoleh pendapatan dari sektor properti. Diduga ada konspirasi terselubung, mengingat Erlangga selain dikenal sebagai Ketua Real Estate Indonesia (REI) Jawa Timur, dia juga dekat dengan pejabat pemerintahan.
Data yang diperoleh Surabaya Pagi, Senin (6/8), PT JGU pada awalnya merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov Jatim dengan bidang bisnis properti. Ini seperti tercantum dalam Perda No 14 tahun 2005 tentang pembentukan BUMD PT JGU. Namun pada tahun 2008, tiba-tiba PT JGU ditunjuk begitu saja untuk mengelola pasar induk Agrobis (PIA) yang sebelumnya penuh masalah korupsi.
PT JGU sendiri merupakan perusahaan BUMD yang didirikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang diwakili oleh Gubernur Jawa Timur kala itu Imam Utomo, dan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Duduk sebagai Komisaris Utama PT JGU adalah Drs. Nurwiyatno sekarang kepala Badan Pengelola Keuandan Daerah (BPKAD) Jatim, dengan anggota komisaris lainnya seperti Ir. R.M.A. Amirullah Soerjolelono S (mantan Kepala Bapeda era Gubernur Imam Utomo), Ir. Gatot Indrajid, MM, Syaiful Ismail, SE dan Ir. Muh. Ludfy, SH, MH. Ditunjuk dalam rapat RUPS, Ir. Erlangga Satriagung sebagai direktur utama sampai hari ini.
Pendirian PT JGU juga dilengkapi dengan akte Perusahaan No.10 (Notaris.Kosidi Wirjohardjo.SH) tanggal 24-11-2006. Awal perjalananya, PT JGU disupport modal senilai Rp 50 miliar dari APBD Jatim. Namun dalam akte pendirian awal tertulis rincian saham dari APBD Jatim sebesar 99% atau 49.500.000.000 dan 1% atau Rp 500.000.000 dari Koperasi Karyawan Pegawai Negeri Pemerintah Propinsi.
Namun sejak tahun 2008, PT JGU tiba-tiba berubah fungsi. Kala itu diperkuat dengan pembahasan revisi Perda menjadi Perda No 13/2008. Dalam revisi perda itulah, muncul penunjukkan PT JGU untuk mengelola penuh pembangunan serta manajemen pasar induk agrobisnis di desa Jemundo, Kecamtan Taman, Sidoarjo yang pada tahun 2010 berubah nama menjadi pasar Puspa Agro.
Tak hanya pembangunan dan pengelolaan, seluruh aset tanah seluas 50 hektar di Puspa Agro juga diserahkan kepada PT JGU. Pasca diserahkan itulah, PT JGU terus-terusan mendapat suntikan dana APBD dari tahun 2009 hingga tahun 2011 dengan nilai total hampir Rp 450 miliar. Maka secara global, APBD Jatim yang sudah mengalir ke PT JGU ini Rp 500 miliar.
Lantas bagaimana hasil dari suntikan dana tersebut? Hingga detik ini masyarakat Jawa Timur banyak yang bertanya-tanya. Pasalnya, megaproyek Puspa Agro yang menjadi alat PT JGU untuk mendapatkan kucuran dana, ternyata tidak menunjukkan perkembangan apa-apa. Bahkan blok-blok pasar itu kini mulai ditinggal pedagang, petani serta pembeli.
Gubernur Jatim Soekarwo juga mengakui kurang maksimalnya kinerja PT JGU dalam mengelola pasar Puspa Agro. "Masukan ini kami tampung, nanti (PT JGU) saya evaluasi," ujar Gubernur saat ditanya tentang kinerja PT JGU dalam mengelola Pasar Puspa Agro, petang kemarin (6/8).
Meski begitu, lanjut Gubernur, PT JGU sudah untung cukup lumayan. Hanya saja untungnya masih pada bisnis properti. Sedangkan dari puspa Agro, belum. Lebih lanjut, Gubernur berpendapat, perlu dibedakan peran dan fungsi BUMD tidak semuanya profit oriented. Karena tidak semuanya harus berpatokan pada efisien atau bicara untung rugi. Sebab pemanfaatan anggaran untuk puspa Agro untuk kepentingan masyarakat luas. Dana besar belum tentu diikuti langsung dengan dampak bagi masyarakat.
"Puspa Agro memang (pemanfaatan bagi masyakat) belum tebal, tapi sudah menjadi tempat bertemunya pedagang dan pembeli sudah jalan. Pasar grosirnya belum jalan, karena kultur masyarakat kita belum ke situ," cetus pejabat yang akrab disapa Pakde Karwo ini.
Tidak Maksimal
Anggota Komisi C DPRD Jatim, Suli Daim, juga setuju PT JGU dievaluasi. Ia mengakui kurang maksimalnya kinerja PT JGU dalam mengelola pasar Puspa Agro. Pasalnya hingga 2 tahun diresmikan, masih saja sepi. Padahal harapan masyarakat Jatim sangat besar terhadap Puspa Agro untuk memberikan ruang bagi petani agar dapat menstabilkan harga di musim panen.
"Karenanya kinerja manajemen PT JGU sangat diharapkan adanya terobosan yang mendorong perputaran produk pertanian betul-betul menjadi pasar petani bukan pasar yang mengklaim ini pasar petani," sindir Suli Daim dikonfirmasi terpisah.
Pernyataan ini bukan tidak berdasar. Apalagi uang rakyat yang dikeluarkan untuk Puspa Agro sangat luar biasa besar. Seharusnya sebanding dengan pemanfaatan yang harus diperoleh masyarakat, terutama kaum petani dan pedagang produk unggulan Jawa Timur. "Hasilnya ya bisa dilihat, belum kelihatan sampai sekarang. Bagi kita multiplayer effect-nya untuk masyarakat Jatim itu penting sekali, termasuk peningkatan deviden ya sangat diharapkan tentunya," papar Suli.
Komisi C sendiri, selalu dilapori kinerja PT JGU yang seolah-olah sempurna. Dengan membawa setoran pendapatan asli daerah (PAD) atau deviden dari PT JGU. Deviden ke pemprov tahun 2009 Rp 1 miliar, tahun 2010 Rp 1,7 miliar dan tahun 2011 Rp 1,9 miliar.
"Selama ini laporannya ya global, tidak dirinci dari Puspa Agro berapa lalu dari usaha properti berapa. JGU tidak ada penjelasan secara parsial. Anggapan kami JGU ya Puspa Agro," tandasnya. n tim
PT JGU Kuras APBD!
SURABAYA PAGI – Sepak terjang PT Jatim Grha Utama (PT JGU) di dunia bisnis belum keliatan mencolok, namun sudah disuntik APBD luar biasa besar. Sejak didirikan tahun 2005, prestasi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dipimpin Erlangga Satriagung ini hanya menghabiskan uang negara. Total sejak awal berdiri hingga saat ini, APBD Jatim yang terkuras untuk PT JGU mencapai Rp 500 miliar. Wajar jika Gubernur Jatim Soekarwo akan mengevaluasi PT JGU.
Dari data yang berhasil dihimpun, proyek properti PT JGU yang selama ini dijual kurang bisa meyakinkan masyarakat luas. Tak banyak orang tahu bahwa PT JGU punya proyek perumahan murah. Begitu juga dengan proyek Pasar Induk Puspa Agro yang tiba-tiba dikelola PT JGU. Sejak awal pembangunannya kerap kali bermasalah.
Beberapa catatan redaksi menyebutkan, awal tahun 2008 PT JGU pernah diragukan oleh Komisi B DPRD Jatim periode 2004-2009 terkait kemampuan mengelola Pasar Induk Agrobis (PIA) yang berubah nama menjadi Pasar Puspa Agro itu. Pasalnya, pasar tersebut merupakan salah satu proyek pengungkit perekonomian di Jatim. Sedangkan PT JGU selama ini merupakan BUMD yang bergerak di bidang properti yang track record-nya tidak begitu menonjol.
Catatan kedua, dari segi ketertarikan lokasi dan konsep, Pasar Induk Agrobisnis (PIA) tidak menarik perhatian investor. Pada pertengahan Agustus 2008, PT JGU pernah membuka pendaftaran calon investor untuk bareng-bareng mengelola PIA. Tapi hasilnya, nihil, tak satupun investor tertarik. Bahkan Erlangga Satriagung Dirut PT JGU tak mampu menggaet satupun pengusaha untuk ikut investasi di Puspa Agro.
Catatan Ketiga, pada akhir 2009 PT JGU pernah diprotes Komisi B DPRD Jatim. Ini terkait molornya pembangunan PIA. Kala itu, APBD yang sudah dicairkan Rp 60 miliar, tapi di lapangan yang tampak hanya lahan kosong dan beberapa tiang pancang saja. DPRD pun sempat ingin menyetop kucuran dana.
Melihat beberapa kejanggalan pasar Puspa Agro di Desa Jemundo Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, ternyata sudah diprediksi para pengamat ekonomi Jawa Timur. Pasar yang terletak tiga kilometer dari jalan raya Kletek Sepanjang itu dianggap terlalu jauh dari pusat keramaian. Hal tersebut diperparah dengan jalur akses yang tidak memadai sama sekali.
Pakar Studi Ekonomi Pembangunan, Tjuk K Sukiadi mengatakan sebenarnya konsep Pasar Induk Agrobisnis atau Puspa Agro itu sudah betul untuk kepentingan ekonomi masyarakat petani Jawa Timur. Hanya saja, perencanaanya yang salah terutama pada pemilihan lokasi. "Tapi Pemprov memilih lokasinya tidak tepat. Dari segi teori marketingnya, tidak tepat," kata Tjuk, kemarin.
Dalam teori marketing, poin 'P' atau biasa disebut Place sudah tidak benar. "Kalau tidak benar siapa yang mau datang kesana," sahutnya.
Menurut Tjuk, keputusan pemilihan lokasi di Jemundo, Sidoarjo tidak lepas dari campur tangan banyak pihak. Terutama para pejabatnya pada waktu itu. – Saat itu, pejabat yang mengatur pembangunan PIA ada dibawah kendali Gubernur Jatim Imam Utomo - . "Pejabatnya waktu itu terlalu menggampangkan, padahal kalau investor tidak tertarik itu sudah warning, jangan diteruskan," selanya.
Pasalnya Desa Jemundo, Kecamatan Taman Sidoarjo bukan tempat dimana orang akan bersinggah membawa dagangannya untuk dijual. Selain itu, kawasan tersebut lebih banyak untuk kawasan pergudangan dan pabrik-pabrik. "Mestinya pasar induk Puspa Agro itu dibangun di sekitar Wonokromo atau dekat Bunderan Waru. Itu tempat pertemuan orang dari segala penjuru," cetus pengamat dari Unair ini.
Dikatakan Tjuk, konsep rencana pembangunan Puspa Agro sangat tepat di provinsi agro seperti Jawa Timur. Termasuk peran pemerintah harus memberikan subsidi pada public utility juga penting. "Tapi milih lokasinya harus benar. Para petani memang tidak mampu urunan bikin pasar, tapi pemerintah bikin pasar, ditempat yang ngawur," selorohnya.
Sebagai pengamat ekonomi, dirinya sudah kerap kali memberi masukan ke Pemprov Jatim termasuk Gubernur Jatim waktu itu saat dijabat Imam Utomo. "Bahwa sejak awal lokasi di Jemundo itu tidak tepat. Tempat itu tidak punya prospek untuk pasar induk," jelasnya.
Definisi pasar, terang Tjuk, adalah tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Kalau itu dibangun ditempat yang salah, jelas sangat merugikan. "Jadinya ya seperti sekarang ini, pemborosan dan mubazir," kata Tjuk.
Akibatnya, selain mubazir, Puspa Agro ini tidak bisa menghidupi diri sendiri. Ini merupakan akibat dari sebuah perencaannan yang salah, bisa fatal akibatnya. "Setiap tahunnya akhirnya nyusu ke APBD. Seharusnya pasar itu ada retribusi yang bisa masuk dan bisa membiayai sendiri. Kapan bisa break event (balik modal) harus ada," tegasnya.
Kinerja PT JGU sebagai pengelola Pasar Induk Puspa Agro bisa dilihat dari Feasibility Study (FS). Di situ akan jelas diatur apa saja program dan manajemen tersmasuk pada tahun berapa akan break even point dan bisa menyumbang PAD ke pemprov Jatim. "Yang mengerikan sampai kapan tidak bisa break event. Itu harus diwaspadai. Ini warning buat pemprov, ada harapan buat break event tidak? Bisa self efisien gak? Kalau tidak, prospek tidak ada, subsidi terus, ya ditutup saja," terang Tjuk.
Dalam sebuah perusahaan seharusnya meminimalisir kesalahan. Bukan malah mendekati atau merawat kesalahan. Contoh pada pembangunan Puspa Agro, sudah jelas tidak ada satu investor pun yang tertarik invest ke tempat tersebut. "Kalau salah ya ruginya besar, bunuh diri. Coba kalau ini perusahaan swasta, pasti sudah bangkrut," paparnya.
Akibatnya, seperti sekarang ini, Puspa Agro akan menjadi proyek yang terus menerus diberi subsidi dari pemerintah. Melalui cantolan BUMD yang namanya PT JGU. "Bisa saja ada subsidi, tapi harus pada batas tertentu. BUMD pasti dikejar PAD," pungkasnya. n tim
Dari data yang berhasil dihimpun, proyek properti PT JGU yang selama ini dijual kurang bisa meyakinkan masyarakat luas. Tak banyak orang tahu bahwa PT JGU punya proyek perumahan murah. Begitu juga dengan proyek Pasar Induk Puspa Agro yang tiba-tiba dikelola PT JGU. Sejak awal pembangunannya kerap kali bermasalah.
Beberapa catatan redaksi menyebutkan, awal tahun 2008 PT JGU pernah diragukan oleh Komisi B DPRD Jatim periode 2004-2009 terkait kemampuan mengelola Pasar Induk Agrobis (PIA) yang berubah nama menjadi Pasar Puspa Agro itu. Pasalnya, pasar tersebut merupakan salah satu proyek pengungkit perekonomian di Jatim. Sedangkan PT JGU selama ini merupakan BUMD yang bergerak di bidang properti yang track record-nya tidak begitu menonjol.
Catatan kedua, dari segi ketertarikan lokasi dan konsep, Pasar Induk Agrobisnis (PIA) tidak menarik perhatian investor. Pada pertengahan Agustus 2008, PT JGU pernah membuka pendaftaran calon investor untuk bareng-bareng mengelola PIA. Tapi hasilnya, nihil, tak satupun investor tertarik. Bahkan Erlangga Satriagung Dirut PT JGU tak mampu menggaet satupun pengusaha untuk ikut investasi di Puspa Agro.
Catatan Ketiga, pada akhir 2009 PT JGU pernah diprotes Komisi B DPRD Jatim. Ini terkait molornya pembangunan PIA. Kala itu, APBD yang sudah dicairkan Rp 60 miliar, tapi di lapangan yang tampak hanya lahan kosong dan beberapa tiang pancang saja. DPRD pun sempat ingin menyetop kucuran dana.
Melihat beberapa kejanggalan pasar Puspa Agro di Desa Jemundo Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo, ternyata sudah diprediksi para pengamat ekonomi Jawa Timur. Pasar yang terletak tiga kilometer dari jalan raya Kletek Sepanjang itu dianggap terlalu jauh dari pusat keramaian. Hal tersebut diperparah dengan jalur akses yang tidak memadai sama sekali.
Pakar Studi Ekonomi Pembangunan, Tjuk K Sukiadi mengatakan sebenarnya konsep Pasar Induk Agrobisnis atau Puspa Agro itu sudah betul untuk kepentingan ekonomi masyarakat petani Jawa Timur. Hanya saja, perencanaanya yang salah terutama pada pemilihan lokasi. "Tapi Pemprov memilih lokasinya tidak tepat. Dari segi teori marketingnya, tidak tepat," kata Tjuk, kemarin.
Dalam teori marketing, poin 'P' atau biasa disebut Place sudah tidak benar. "Kalau tidak benar siapa yang mau datang kesana," sahutnya.
Menurut Tjuk, keputusan pemilihan lokasi di Jemundo, Sidoarjo tidak lepas dari campur tangan banyak pihak. Terutama para pejabatnya pada waktu itu. – Saat itu, pejabat yang mengatur pembangunan PIA ada dibawah kendali Gubernur Jatim Imam Utomo - . "Pejabatnya waktu itu terlalu menggampangkan, padahal kalau investor tidak tertarik itu sudah warning, jangan diteruskan," selanya.
Pasalnya Desa Jemundo, Kecamatan Taman Sidoarjo bukan tempat dimana orang akan bersinggah membawa dagangannya untuk dijual. Selain itu, kawasan tersebut lebih banyak untuk kawasan pergudangan dan pabrik-pabrik. "Mestinya pasar induk Puspa Agro itu dibangun di sekitar Wonokromo atau dekat Bunderan Waru. Itu tempat pertemuan orang dari segala penjuru," cetus pengamat dari Unair ini.
Dikatakan Tjuk, konsep rencana pembangunan Puspa Agro sangat tepat di provinsi agro seperti Jawa Timur. Termasuk peran pemerintah harus memberikan subsidi pada public utility juga penting. "Tapi milih lokasinya harus benar. Para petani memang tidak mampu urunan bikin pasar, tapi pemerintah bikin pasar, ditempat yang ngawur," selorohnya.
Sebagai pengamat ekonomi, dirinya sudah kerap kali memberi masukan ke Pemprov Jatim termasuk Gubernur Jatim waktu itu saat dijabat Imam Utomo. "Bahwa sejak awal lokasi di Jemundo itu tidak tepat. Tempat itu tidak punya prospek untuk pasar induk," jelasnya.
Definisi pasar, terang Tjuk, adalah tempat bertemunya pedagang dan pembeli. Kalau itu dibangun ditempat yang salah, jelas sangat merugikan. "Jadinya ya seperti sekarang ini, pemborosan dan mubazir," kata Tjuk.
Akibatnya, selain mubazir, Puspa Agro ini tidak bisa menghidupi diri sendiri. Ini merupakan akibat dari sebuah perencaannan yang salah, bisa fatal akibatnya. "Setiap tahunnya akhirnya nyusu ke APBD. Seharusnya pasar itu ada retribusi yang bisa masuk dan bisa membiayai sendiri. Kapan bisa break event (balik modal) harus ada," tegasnya.
Kinerja PT JGU sebagai pengelola Pasar Induk Puspa Agro bisa dilihat dari Feasibility Study (FS). Di situ akan jelas diatur apa saja program dan manajemen tersmasuk pada tahun berapa akan break even point dan bisa menyumbang PAD ke pemprov Jatim. "Yang mengerikan sampai kapan tidak bisa break event. Itu harus diwaspadai. Ini warning buat pemprov, ada harapan buat break event tidak? Bisa self efisien gak? Kalau tidak, prospek tidak ada, subsidi terus, ya ditutup saja," terang Tjuk.
Dalam sebuah perusahaan seharusnya meminimalisir kesalahan. Bukan malah mendekati atau merawat kesalahan. Contoh pada pembangunan Puspa Agro, sudah jelas tidak ada satu investor pun yang tertarik invest ke tempat tersebut. "Kalau salah ya ruginya besar, bunuh diri. Coba kalau ini perusahaan swasta, pasti sudah bangkrut," paparnya.
Akibatnya, seperti sekarang ini, Puspa Agro akan menjadi proyek yang terus menerus diberi subsidi dari pemerintah. Melalui cantolan BUMD yang namanya PT JGU. "Bisa saja ada subsidi, tapi harus pada batas tertentu. BUMD pasti dikejar PAD," pungkasnya. n tim
PT JGU Tutup-tutupi Usahanya
SURABAYA – Gagalnya PT Jatim Graha Utama (PT JGU) mengelola pasar induk Puspa Agro, ternyata sudah diprediksi kalangan DPRD Jatim. Pasalnya, PT JGU ini lebih dikenal sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) yang tidak transparan dan kerap kali tidak jujur. Erlangga Satriagung selaku direktur utama (Dirut) PT JGU diminta bertanggung jawab secara keuangan dan hukum atas penggunaan dana Rp 500 miliar yang digelontor dari APBD Jatim. Apalagi, pakar ekonomi melihat ada yang salah dalam pengelolaan Puspa Agro. Sejak awal, pasar induk yang digagas semasa Gubernur Imam Utomo itu, sudah salah perencanaan. Dampaknya, pelaku pasar meninggalkan pasar Puspa Agro.
Padahal, dengan modal Rp 500 miliar, PT JGU harusnya bisa memberikan kontribusi lebih besar terhadap pedapatan asli daerah (PAD). Nyatanya, sudah lima tahun lebih operasional, kontribusi PT JGU ke PAD tak sampai Rp 2 miliar. Padahal, jika dana Rp 500 miliar diinvestasikan ke pasar modal, misalnya SBI (Sertikat Bank Indonesia), sudah menghasilkan keuntungan sekitar Rp 30 miliar setahun. Lalu, dikemanakan dana Rp 500 miliar itu?
Sayangnya, DPRD Jatim sendiri tak pernah menerima laporan penggunaan modal Rp 500 miliar oleh PT JGU. Menurut Badrut Tamam, anggota Komisi C DPRD Jatim, selama ini PT JGU menerapkan manajemen yang tidak terbuka dan tidak transparan. Hal ini kaitannya dalam penggunaan dana penyertaan modal yang setiap tahun dikucurkan yang sudah mencapai total Rp 500 miliar. "Misalnya ada beberapa sub usaha yang tidak disampaikan sama kita di DPRD. Termasuk bisnis Property tidak pernah dipresentasikan, dan banyak sub usaha yang lain yang ditutup-tutupi," kata Badrut Tamam, Kamis (9/8).
Dirinya bersama rekan-rekan komisi C juga heran dengan sikap tertutup yang dilakukan manajemen PT JGU tersebut. Ditambah lagi, prestasinya pun tidak ada yang kelihatan. Pembangunan dan pengelolaan pasar induk Puspa Agro pun tidak sukses. "Kalau kita melakukan evaluasi secara total, itu cenderung tidak bisa kita lakukan karena PT JGU tidak pernah memberikan data yang cukup. Padahal sebagai BUMD, kita perlu melakukan kontrol dan penilaian. Kami anggap PT JGU memang nasibnya tidak jelas," terang Badrut.
Badrut juga menyinggung dana yang selama ini dikucurkan pemprov sebagai penyertaan modal. Selama ini, DPRD tidak pernah tahu apakah itu murni untuk Puspa Agro semua atau juga untuk bisnis lainnya. "Kita tidak tahu rinciannya untuk apa saja. Yang dijelaskan ke komisi C selama ini hanya sebagian-sebagian saja. Kita hanya tahu untuk beberapa saja. Bisnis yang lain apa saja tidak jelas," beber dia.
Begitu juga untuk pasar Puspa Agro, juga tidak pernah dilaporkan secara rinci. Seperti apa perkembangan dan kendalanya. Pihaknya malah tahunya dari masyarakat langsung, bahwa di Puspa Agro itu sepi dan sebagainya. "Kita tidak tahu seberapa besar volume keikutsertaan petani dan manfaatnya seperti apa tidak jelas sampai sekarang, ini karena PT JGU tidak transparan," tandas Badrut.
Ke depan, lanjut Badrut, Komisi C akan membuka semuanya dan memanggil direksi PT JGU. "Ingin kita diskusikan semuanya langsung dengan direksi PT JGU, kenapa jadi seperti ini," tegasnya.
Itu dilakukan, supaya DPRD dan Pemprov Jatim bisa mengukur sejauh mana kelemahan-kelemahan PT JGU untuk dicarikan jalan keluarnya. "Kita juga ingin mengevaluasi penggunaan dananya. Sebab selama ini tidak efektif. Wajar jika sekarang ini penyertaan modal ke JGU kita turunkan. Ini Karena tidak ada keterbukaan dan manajemen yang kurang baik untuk menerima dan bekerja sama dengan stake holder yang lain," paparnya.
Sekretaris Fraksi PKB DPRD Jatim ini juga menilai negatif pasar Puspa Agro. Apalagi selama ini tidak ada investor yang tertarik bekerja sama dengan PT JGU. "Menurut saya, janji mendatangkan investor itu banyak palsunya," cetus Badrut.
Dari sisi deviden (bagi hasil) untuk pemprov Jatim melalui setoran Pendapatan asli Daerah (PAD) yang diserahkan PT JGU juga sangat tidak imbang bahkan tidak rasional. "Tidak rasional dan kebangeten, masak modal yang disetor provinsi sangat besar tapi PAD nya hanya di angka 1-2 miliar. Coba kalau dibuat bisnis yang lain, hasilnya pasti bisa lebih dari itu," pungkasnya.
Seperti diketahui, PT JGU dibentuk berdasarkan Perda No 14/2005. Dalam awal perjalananya, PT JGU disupport modal senilai Rp 50 miliar dari APBD Jatim. Rinciannya, seperti yang tertera dalam akte pendirian awal tertulis saham dari APBD Jatim sebesar 99% atau 49.500.000.000 dan 1% atau Rp 500.000.000 dari Koperasi Karyawan Pegawai Negeri Pemerintah Propinsi.
Namun sejak tahun 2008, PT JGU tiba-tiba berubah fungsi. Kala itu diperkuat dengan pembahasan revisi Perda menjadi Perda No 13/2008. Dalam revisi perda itulah, muncullah penunjukkan PT JGU diberi kewenangan mengelola penuh pembangunan serta manajemen pasar induk agrobisnis (PIA) di desa Jemundo, Kecamtan Taman, Sidoarjo yang pada tahun 2010 berubah nama menjadi pasar Puspa Agro. Tak hanya pembangunan dan pengelolaan, seluruh asset tanah seluas 50 hektar di Puspa Agro juga diserahkan kepada PT JGU. Pasca diserahkan itulah, PT JGU terus-terusan mendapat suntikan dana APBD dari tahun 2009 hingga tahun 2011 dengan nilai total hampir Rp 450 miliar. Maka secara global, APBD Jatim yang sudah mengalir sejak awal pendirian ke PT JGU mencapai Rp 500 miliar.
Salah Perencanaan
Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Drs. Ec.Edy Juwono Slamet, MA menyayangkan besarnya penyertaan modal ke PT JGU yang mencapai Rp 500 miliar, tapi tidak memberi kontribusi positif bagi masyarakat Jawa Timur. Menurutnya, dana sebesar itu harusnya bisa digunakan untuk menutup kebutuhan masyarakat kecil di Jatim. Misalnya pemberdayaan ekonomi masyarat kecil melalui unit-unit usaha yang bermanfaat. "Gagalnya Puspa Agro itu karena sudah salah dari (perencanaan, red) awal," ungkap mantan dekan Fakultas Ekonomi Unair ini.
Menurutnya, ada dua hal yang harus dilakukan, yakni tutup saja pasar Puspa Agro atau ganti pengelolanya. "Jika Puspa Agro ini tidak ada pembelinya, mau bagaimana lagi, sebaiknya tutup saja. Toh sebelum ada pasar induk, pedagang dan petani awalnya juga sudah bisa menjual hasil pertaniannya," tutur dia.
Setiap kota, lanjutnya, harusnya memang ada pasar induk semacam pasar Puspa Agro. Contoh saja Australia, hampir tiap kota di sana memiliki pasar induk. Namun letaknya ada di tengah kota, sehingga memudahkan siapapun yang hendak membeli barang-barang kebutuhan holtikultura. Sedang Puspa Agro yang jauh dari kota, jelas jauh dari pembeli. Transaksi di sana tidak efektif, sehingga pedagang di sana merugi. Dampaknya, pedagang di sana memilih kembali ke Pasar Keputran.
Karena itu, masih kata Edy Juwono, langkah selanjutnya mengevaluasi pengelolaan Puspa Agro. Kucuran dana hingga Rp 500 miliar yang digunakan PT JGU juga dievaluasi dan dimintai pertanggungjawabannya. "Saya melihat masalah Puspa Agro ini dikarenakan perencanaan pembangunan yang kurang matang, bahkan mungkin salah. Sebab jika sejak awal daerah yang dipilih untuk membangun Puspa Agro itu aksesnya mudah terjangkau, maka petani dan pedagang pasti akan senang, apalagi ditambahah dengan tempat yang murah dan tidak harus bayar sewa," papar Edy.
Ia menjelaskan, pasar induk ini pada dasarnya untuk menjembatani antara petani dan pedagang supaya hasil bumi yang dipanen dapat terjual. Juga mengurangi sistem ijon atau tengkulak/pengepul yang biasa membeli barang dagangan dari petani. Sebab keberadaan pengepul ini merugikan para petani. "Jika ini gagal dicapai, perlu dipertanyakan ke pengelolanya (PT JGU, red)," terangnya.
Jika pengelolaan tidak benar, maka Pemprov Jatim bisa mengganti PT JGU dalam pengelolaan Puspa Agro. "Pengelola baru harus lebih baik, tapi ini tergantung good will dari Pemprov," pungkas Edy Juwono. n tim
Padahal, dengan modal Rp 500 miliar, PT JGU harusnya bisa memberikan kontribusi lebih besar terhadap pedapatan asli daerah (PAD). Nyatanya, sudah lima tahun lebih operasional, kontribusi PT JGU ke PAD tak sampai Rp 2 miliar. Padahal, jika dana Rp 500 miliar diinvestasikan ke pasar modal, misalnya SBI (Sertikat Bank Indonesia), sudah menghasilkan keuntungan sekitar Rp 30 miliar setahun. Lalu, dikemanakan dana Rp 500 miliar itu?
Sayangnya, DPRD Jatim sendiri tak pernah menerima laporan penggunaan modal Rp 500 miliar oleh PT JGU. Menurut Badrut Tamam, anggota Komisi C DPRD Jatim, selama ini PT JGU menerapkan manajemen yang tidak terbuka dan tidak transparan. Hal ini kaitannya dalam penggunaan dana penyertaan modal yang setiap tahun dikucurkan yang sudah mencapai total Rp 500 miliar. "Misalnya ada beberapa sub usaha yang tidak disampaikan sama kita di DPRD. Termasuk bisnis Property tidak pernah dipresentasikan, dan banyak sub usaha yang lain yang ditutup-tutupi," kata Badrut Tamam, Kamis (9/8).
Dirinya bersama rekan-rekan komisi C juga heran dengan sikap tertutup yang dilakukan manajemen PT JGU tersebut. Ditambah lagi, prestasinya pun tidak ada yang kelihatan. Pembangunan dan pengelolaan pasar induk Puspa Agro pun tidak sukses. "Kalau kita melakukan evaluasi secara total, itu cenderung tidak bisa kita lakukan karena PT JGU tidak pernah memberikan data yang cukup. Padahal sebagai BUMD, kita perlu melakukan kontrol dan penilaian. Kami anggap PT JGU memang nasibnya tidak jelas," terang Badrut.
Badrut juga menyinggung dana yang selama ini dikucurkan pemprov sebagai penyertaan modal. Selama ini, DPRD tidak pernah tahu apakah itu murni untuk Puspa Agro semua atau juga untuk bisnis lainnya. "Kita tidak tahu rinciannya untuk apa saja. Yang dijelaskan ke komisi C selama ini hanya sebagian-sebagian saja. Kita hanya tahu untuk beberapa saja. Bisnis yang lain apa saja tidak jelas," beber dia.
Begitu juga untuk pasar Puspa Agro, juga tidak pernah dilaporkan secara rinci. Seperti apa perkembangan dan kendalanya. Pihaknya malah tahunya dari masyarakat langsung, bahwa di Puspa Agro itu sepi dan sebagainya. "Kita tidak tahu seberapa besar volume keikutsertaan petani dan manfaatnya seperti apa tidak jelas sampai sekarang, ini karena PT JGU tidak transparan," tandas Badrut.
Ke depan, lanjut Badrut, Komisi C akan membuka semuanya dan memanggil direksi PT JGU. "Ingin kita diskusikan semuanya langsung dengan direksi PT JGU, kenapa jadi seperti ini," tegasnya.
Itu dilakukan, supaya DPRD dan Pemprov Jatim bisa mengukur sejauh mana kelemahan-kelemahan PT JGU untuk dicarikan jalan keluarnya. "Kita juga ingin mengevaluasi penggunaan dananya. Sebab selama ini tidak efektif. Wajar jika sekarang ini penyertaan modal ke JGU kita turunkan. Ini Karena tidak ada keterbukaan dan manajemen yang kurang baik untuk menerima dan bekerja sama dengan stake holder yang lain," paparnya.
Sekretaris Fraksi PKB DPRD Jatim ini juga menilai negatif pasar Puspa Agro. Apalagi selama ini tidak ada investor yang tertarik bekerja sama dengan PT JGU. "Menurut saya, janji mendatangkan investor itu banyak palsunya," cetus Badrut.
Dari sisi deviden (bagi hasil) untuk pemprov Jatim melalui setoran Pendapatan asli Daerah (PAD) yang diserahkan PT JGU juga sangat tidak imbang bahkan tidak rasional. "Tidak rasional dan kebangeten, masak modal yang disetor provinsi sangat besar tapi PAD nya hanya di angka 1-2 miliar. Coba kalau dibuat bisnis yang lain, hasilnya pasti bisa lebih dari itu," pungkasnya.
Seperti diketahui, PT JGU dibentuk berdasarkan Perda No 14/2005. Dalam awal perjalananya, PT JGU disupport modal senilai Rp 50 miliar dari APBD Jatim. Rinciannya, seperti yang tertera dalam akte pendirian awal tertulis saham dari APBD Jatim sebesar 99% atau 49.500.000.000 dan 1% atau Rp 500.000.000 dari Koperasi Karyawan Pegawai Negeri Pemerintah Propinsi.
Namun sejak tahun 2008, PT JGU tiba-tiba berubah fungsi. Kala itu diperkuat dengan pembahasan revisi Perda menjadi Perda No 13/2008. Dalam revisi perda itulah, muncullah penunjukkan PT JGU diberi kewenangan mengelola penuh pembangunan serta manajemen pasar induk agrobisnis (PIA) di desa Jemundo, Kecamtan Taman, Sidoarjo yang pada tahun 2010 berubah nama menjadi pasar Puspa Agro. Tak hanya pembangunan dan pengelolaan, seluruh asset tanah seluas 50 hektar di Puspa Agro juga diserahkan kepada PT JGU. Pasca diserahkan itulah, PT JGU terus-terusan mendapat suntikan dana APBD dari tahun 2009 hingga tahun 2011 dengan nilai total hampir Rp 450 miliar. Maka secara global, APBD Jatim yang sudah mengalir sejak awal pendirian ke PT JGU mencapai Rp 500 miliar.
Salah Perencanaan
Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Drs. Ec.Edy Juwono Slamet, MA menyayangkan besarnya penyertaan modal ke PT JGU yang mencapai Rp 500 miliar, tapi tidak memberi kontribusi positif bagi masyarakat Jawa Timur. Menurutnya, dana sebesar itu harusnya bisa digunakan untuk menutup kebutuhan masyarakat kecil di Jatim. Misalnya pemberdayaan ekonomi masyarat kecil melalui unit-unit usaha yang bermanfaat. "Gagalnya Puspa Agro itu karena sudah salah dari (perencanaan, red) awal," ungkap mantan dekan Fakultas Ekonomi Unair ini.
Menurutnya, ada dua hal yang harus dilakukan, yakni tutup saja pasar Puspa Agro atau ganti pengelolanya. "Jika Puspa Agro ini tidak ada pembelinya, mau bagaimana lagi, sebaiknya tutup saja. Toh sebelum ada pasar induk, pedagang dan petani awalnya juga sudah bisa menjual hasil pertaniannya," tutur dia.
Setiap kota, lanjutnya, harusnya memang ada pasar induk semacam pasar Puspa Agro. Contoh saja Australia, hampir tiap kota di sana memiliki pasar induk. Namun letaknya ada di tengah kota, sehingga memudahkan siapapun yang hendak membeli barang-barang kebutuhan holtikultura. Sedang Puspa Agro yang jauh dari kota, jelas jauh dari pembeli. Transaksi di sana tidak efektif, sehingga pedagang di sana merugi. Dampaknya, pedagang di sana memilih kembali ke Pasar Keputran.
Karena itu, masih kata Edy Juwono, langkah selanjutnya mengevaluasi pengelolaan Puspa Agro. Kucuran dana hingga Rp 500 miliar yang digunakan PT JGU juga dievaluasi dan dimintai pertanggungjawabannya. "Saya melihat masalah Puspa Agro ini dikarenakan perencanaan pembangunan yang kurang matang, bahkan mungkin salah. Sebab jika sejak awal daerah yang dipilih untuk membangun Puspa Agro itu aksesnya mudah terjangkau, maka petani dan pedagang pasti akan senang, apalagi ditambahah dengan tempat yang murah dan tidak harus bayar sewa," papar Edy.
Ia menjelaskan, pasar induk ini pada dasarnya untuk menjembatani antara petani dan pedagang supaya hasil bumi yang dipanen dapat terjual. Juga mengurangi sistem ijon atau tengkulak/pengepul yang biasa membeli barang dagangan dari petani. Sebab keberadaan pengepul ini merugikan para petani. "Jika ini gagal dicapai, perlu dipertanyakan ke pengelolanya (PT JGU, red)," terangnya.
Jika pengelolaan tidak benar, maka Pemprov Jatim bisa mengganti PT JGU dalam pengelolaan Puspa Agro. "Pengelola baru harus lebih baik, tapi ini tergantung good will dari Pemprov," pungkas Edy Juwono. n tim
Erlangga Gagal!
SURABAYA – PT Jatim Grha Utama (JGU) tak hanya menguras APBD Jatim hingga Rp 500 miliar. Tapi BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) pimpinan Erlangga Satriagung ini juga gagal mengelola Pasar Puspa Agro. Indikasinya cukup jelas. Selain kontribusi ke PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang masih di bawah Rp 2 miliar, Puspa Agro yang dikelolanya tak diminati pelaku pasar. Sejak dua tahun diresmikan, pasar yang berlokasi di Jemundo, Taman, Sidoarjo itu tetap sepi karena ditinggal para pedagang.
Kondisi ini sangat jauh dari target yang pernah dinyatakan Erlangga sendiri. Kala itu, Erlangga Satriagung selaku Direktur Utama PT JGU menyampaikan beberapa misi Puspa Agro. Pertama, meningkatkan penghasilan petani. Kedua, meningkatkan akses pasar produk petani. Ketiga, sebagai stabilisator harga. Keempat, pusat distribusi produk agro untuk pasar nasional dan internasional, dan kelima, kontributor penting peningkatan PDRB Jatim.
Namun faktanya apa? Misi tersebut masih jauh dari harapan. Padahal, PT JGU sudah menguras APBD hingga setengah triliun rupiah. Angka yang fantastis bagi petani Jawa Timur. Berdasarkan pantauan di Puspa Agro, kemarin, kondisi para pedagang terus menyusut. Mereka banyak yang kembali ke Pasar Keputran.
Meski fasilitas di Pasar Keputran tak sebagus Puspa Agro, tapi omzet jualan di Keputran jauh lebih besar. Sepinya pedagang di Puspa Agro terlihat dari banyak lapak yang kosong di area pasar sayur tersebut. "Dulu jumlah pedagangnya cukup banyak mas, namun saat ini banyak teman-temannya yang berdagang kini balik lagi ke Pasar Keputran," ujar Bu Windi yang yang menjadi pedagang makanan di Puspa Agro.
Anehnya, Puspa Agro hanya ramai pada malam hari. Itu pun bukan karena transaksi atau adanya jual beli produk petani dan holtikultura. Melainkan ramai oleh tempat hiburan permainan anak-anak kecil. "Cuma malam thok yang ramai. Itu pun karena mainan anak-anak," ucap pedagang di sana.
Tadi malam (8/8), Surabaya Pagi juga mewancarai sejumlah pedagang Pasar Keputran. Pengakuan mereka cukup mengejutkan, karena mengaku tak butuh pasar Puspa Agro. Ini berarti proyek pembangunan yang didanai APBD Jawa Timur dan digagas semasa Gubernur Imam Utomo, sia-sia belaka.
"Lokasi Pasar Keputran jauh lebih strategis daripada Puspa Agro. Pasar Keputran di pusat kota Surabaya memudahkan masyarakat yang hendak berbelanja, dari arah Tandes dekat, dari arah Perak juga dekat. Otomatis Pasar Keputran menyedot lebih banyak pembeli," ungkap Sugeng yang mengaku dulunya pernah membuka lapak di Puspa Agro.
Kasiroh, pedagang wortel di Pasar Keputran menyatakan hal senada. Kala berjualan di Puspa Agro, dagangan tidak laku. Bahkan, barang dagangannya sempat membusuk. Lantaran merugi, wanita separo baya ini kembali lagi Keputran. "Pasar Puspa Agro hampir tidak ada pembelinya. Saya pernah berjualan di sana, tetapi tidak betah dan kembali ke Keputran. Di Keputran pembeli banyak berdatangan setiap hari," papar Kasiroh.
Tumri, pedagang lain di Pasar Keputran mengaku pernah ditawari lagi berdagang di Puspa Agro. Tapi dia menolaknya. "Kapok jualan di sana. Pembeli tidak ada, masih harus sewa stan. Kalau di sini (Pasar Keputran, red) cuma bayar uang sampah Rp 15 ribu, dagangan sudah laku. Omzet jelas lebih besar di sini (Keputran)," beber dia.
Erlangga Satriagung yang dikonfirmasi melalui Humas Puspa Agro, Suhartoko, mengakui banyaknya pedagang yang meninggalkan lapak yang sudah pernah di tempatainya di Puspa Agro. Namun, lanjut Suhartoko, pihaknya akan melakukan pemanggilan kembali terhadap para pedagang tersebut agar kembali ke pasar yang diresmikan Gubernur Soekarwo. "Kami kami akan memanggil pemilik lapak tersebut, biar pasar ini menjadi ramai. Jika para pedagang tersebut masih juga belum mau berdagang, kami akan mengisinya dengan pedagang lain. Kurang lebih sekitar 200 an pedagang yang ngantri" klaim Suhartoko, yang mantan wartawan ini.
Kata Suhartoko, pihaknya saat ini sedang membentuk perwakilan dagang di luar provinsi. Perwakilan ini untuk menampung pembeli di luar Jawa Timur. Untuk merangsang minat pedagang, pihaknya juga menetapkan tarif murah. Yakni, hanya Rp 1 juta per meter untuk 10 tahun. Jika minat harian, hanya Rp 15 ribu per hari. Jumlah tersebut digunakan untuk mengganti biaya pemakaian listrik dan air."Kita hanya ingin PIA ramai dulu, baik pedagang dan pembelinya," cetus Suhartoko.
Menanggapi polemik Puspa Agro, mantan Ketua Pusat Kajian Konstitusi, Otonomi Daerah dan Kebijakan Lingkungan (PUSKOLING) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Suparto Wijoyo mengatakan sepinya Pasar Puspa Agro itu harus secepatnya dicari jalan keluarnya. Misalnya Puspa Agro bisa menjalin kerjasama dengan kabupaten/kota di Jatim untuk membuat miniatur produk unggulan di masing-masing kabupaten/kota. Produk itu kemudian dipamerkan di sana dengan harapan bisa menarik pembeli, baik dari Jatim maupun luar Jatim.
Mengenai tak adanya investor yang masuk ke Puspa Agro, Suparto mengatakan, agar investor mau masuk salah satunya dengan pembenahan infratruktur. Pasar Puspa Agro secepatnya harus merealisasikan jalan tembus khusus untuk perdagangan di sana. Saat ini jalan Kletek yang digunakan sebagai akses masih susah, di mana jalur umum dan jalur menuju pasar masih menjadi satu. "Jika pengelola Puspa Agro (PT JGU, red) pernah janji (datangkan investor, red), ini kemudian harus ditagih," tandasnya. n tim
Kondisi ini sangat jauh dari target yang pernah dinyatakan Erlangga sendiri. Kala itu, Erlangga Satriagung selaku Direktur Utama PT JGU menyampaikan beberapa misi Puspa Agro. Pertama, meningkatkan penghasilan petani. Kedua, meningkatkan akses pasar produk petani. Ketiga, sebagai stabilisator harga. Keempat, pusat distribusi produk agro untuk pasar nasional dan internasional, dan kelima, kontributor penting peningkatan PDRB Jatim.
Namun faktanya apa? Misi tersebut masih jauh dari harapan. Padahal, PT JGU sudah menguras APBD hingga setengah triliun rupiah. Angka yang fantastis bagi petani Jawa Timur. Berdasarkan pantauan di Puspa Agro, kemarin, kondisi para pedagang terus menyusut. Mereka banyak yang kembali ke Pasar Keputran.
Meski fasilitas di Pasar Keputran tak sebagus Puspa Agro, tapi omzet jualan di Keputran jauh lebih besar. Sepinya pedagang di Puspa Agro terlihat dari banyak lapak yang kosong di area pasar sayur tersebut. "Dulu jumlah pedagangnya cukup banyak mas, namun saat ini banyak teman-temannya yang berdagang kini balik lagi ke Pasar Keputran," ujar Bu Windi yang yang menjadi pedagang makanan di Puspa Agro.
Anehnya, Puspa Agro hanya ramai pada malam hari. Itu pun bukan karena transaksi atau adanya jual beli produk petani dan holtikultura. Melainkan ramai oleh tempat hiburan permainan anak-anak kecil. "Cuma malam thok yang ramai. Itu pun karena mainan anak-anak," ucap pedagang di sana.
Tadi malam (8/8), Surabaya Pagi juga mewancarai sejumlah pedagang Pasar Keputran. Pengakuan mereka cukup mengejutkan, karena mengaku tak butuh pasar Puspa Agro. Ini berarti proyek pembangunan yang didanai APBD Jawa Timur dan digagas semasa Gubernur Imam Utomo, sia-sia belaka.
"Lokasi Pasar Keputran jauh lebih strategis daripada Puspa Agro. Pasar Keputran di pusat kota Surabaya memudahkan masyarakat yang hendak berbelanja, dari arah Tandes dekat, dari arah Perak juga dekat. Otomatis Pasar Keputran menyedot lebih banyak pembeli," ungkap Sugeng yang mengaku dulunya pernah membuka lapak di Puspa Agro.
Kasiroh, pedagang wortel di Pasar Keputran menyatakan hal senada. Kala berjualan di Puspa Agro, dagangan tidak laku. Bahkan, barang dagangannya sempat membusuk. Lantaran merugi, wanita separo baya ini kembali lagi Keputran. "Pasar Puspa Agro hampir tidak ada pembelinya. Saya pernah berjualan di sana, tetapi tidak betah dan kembali ke Keputran. Di Keputran pembeli banyak berdatangan setiap hari," papar Kasiroh.
Tumri, pedagang lain di Pasar Keputran mengaku pernah ditawari lagi berdagang di Puspa Agro. Tapi dia menolaknya. "Kapok jualan di sana. Pembeli tidak ada, masih harus sewa stan. Kalau di sini (Pasar Keputran, red) cuma bayar uang sampah Rp 15 ribu, dagangan sudah laku. Omzet jelas lebih besar di sini (Keputran)," beber dia.
Erlangga Satriagung yang dikonfirmasi melalui Humas Puspa Agro, Suhartoko, mengakui banyaknya pedagang yang meninggalkan lapak yang sudah pernah di tempatainya di Puspa Agro. Namun, lanjut Suhartoko, pihaknya akan melakukan pemanggilan kembali terhadap para pedagang tersebut agar kembali ke pasar yang diresmikan Gubernur Soekarwo. "Kami kami akan memanggil pemilik lapak tersebut, biar pasar ini menjadi ramai. Jika para pedagang tersebut masih juga belum mau berdagang, kami akan mengisinya dengan pedagang lain. Kurang lebih sekitar 200 an pedagang yang ngantri" klaim Suhartoko, yang mantan wartawan ini.
Kata Suhartoko, pihaknya saat ini sedang membentuk perwakilan dagang di luar provinsi. Perwakilan ini untuk menampung pembeli di luar Jawa Timur. Untuk merangsang minat pedagang, pihaknya juga menetapkan tarif murah. Yakni, hanya Rp 1 juta per meter untuk 10 tahun. Jika minat harian, hanya Rp 15 ribu per hari. Jumlah tersebut digunakan untuk mengganti biaya pemakaian listrik dan air."Kita hanya ingin PIA ramai dulu, baik pedagang dan pembelinya," cetus Suhartoko.
Menanggapi polemik Puspa Agro, mantan Ketua Pusat Kajian Konstitusi, Otonomi Daerah dan Kebijakan Lingkungan (PUSKOLING) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Suparto Wijoyo mengatakan sepinya Pasar Puspa Agro itu harus secepatnya dicari jalan keluarnya. Misalnya Puspa Agro bisa menjalin kerjasama dengan kabupaten/kota di Jatim untuk membuat miniatur produk unggulan di masing-masing kabupaten/kota. Produk itu kemudian dipamerkan di sana dengan harapan bisa menarik pembeli, baik dari Jatim maupun luar Jatim.
Mengenai tak adanya investor yang masuk ke Puspa Agro, Suparto mengatakan, agar investor mau masuk salah satunya dengan pembenahan infratruktur. Pasar Puspa Agro secepatnya harus merealisasikan jalan tembus khusus untuk perdagangan di sana. Saat ini jalan Kletek yang digunakan sebagai akses masih susah, di mana jalur umum dan jalur menuju pasar masih menjadi satu. "Jika pengelola Puspa Agro (PT JGU, red) pernah janji (datangkan investor, red), ini kemudian harus ditagih," tandasnya. n tim
Pedagang: Puspa Agro, Pasar Stress
SURABAYA- Ini bukti Pasar Puspo Agro yang dikelola PT Jatim Grha Utama (PT JGU) mubadzir alias sia-sia. Sepinya pasar yang berlokasi di Jemundo, Sidoarjo ini membuat para pedagang mengeluh, bahkan stres. Sebab, barang dagangannya tak laku hingga akhirnya membusuk. ''Puspo Agro ini pasar stress mas,'' kata Siti Halimah Tusadiyah, pedagang kerupuk lorjuk asal Pamekasan, yang menghuni stan aneka makanan di Puspo Agro, di Jemundo, Kletek, Sidoarjo saat ditemui Surabaya Pagi, Sabtu (11/8).
Wanita paruh baya ini tidak mengira kondisi pasar ini seperti begini (sepi, red) tiap hari. ''Saya tinggal tidur, dagangan tak laku. Ini saja baru sampean beli. Saya tempo hari tak mau jualan jauh-jauh dari Pamekasan. Karena bujuk rayu saja saya sampai di sini. Saya gak kerasan, sepinya kayak kuburan,'' ceriteranya menggerundel.
Menurut pengakuannya, dia dagang di Puspo Agro dengan harapan dagangannya bisa laku keras. Tapi sudah dijalani dua tahun tidak menghasilkan apa-apa, dihitung dengan tenaga dan modal dia mengaku masih rugi. Sementara pengelolanya janji-jani melulu. ''Kecewa saya mas,'' katanya dengan logat Maduranya.
Di los makanan ini yang seharusnya bisa diisi lebih dari 60 pedagang, tapi faktanya hanya 12 orang yang berjualan. Mereka yang kini memajang dagangannya adalah pedagang emping, rengginang lorjuk, krupuk-krupukan, makanan basah dan kering lainnya. Bahkan di los ini bercampur dengan jualan mainan anak-anak. ''Tuh liat teman-teman saya sudah beber dagangan makanan lebaran, tapi pembeli hanya sedikit yang datang. Rugilah kami,'' cetusnya.
Antok, pedagang di los buah-buahan, menjualan pepaya (kates) punya keluhan sama. ''Saya dari Lumajang. Di sini sepi, ya saya lempar ke supermarket terdekat. Nunggu pembeli bisa bosok (membusuk, red) kates saya,'' ucap dia.
Menariknya, di sejumlah stand ini malah digunakan pedagang untuk memasak, sehingga terlihat kumuh. Dapur masak menambah suasana semrawut kotor itulah pemandangan sehari-hari yang tampak di pasar Puspo Agro ini. Ditanya soal ini, ia menjawab, "Kalau makan di luar tak sanggup, dagangan kurang laku, tak ada yang dimakan. Terpaksalah masak pakai keren (kompor bahan bakar kayu, red)."
Wanita paruh baya ini tidak mengira kondisi pasar ini seperti begini (sepi, red) tiap hari. ''Saya tinggal tidur, dagangan tak laku. Ini saja baru sampean beli. Saya tempo hari tak mau jualan jauh-jauh dari Pamekasan. Karena bujuk rayu saja saya sampai di sini. Saya gak kerasan, sepinya kayak kuburan,'' ceriteranya menggerundel.
Menurut pengakuannya, dia dagang di Puspo Agro dengan harapan dagangannya bisa laku keras. Tapi sudah dijalani dua tahun tidak menghasilkan apa-apa, dihitung dengan tenaga dan modal dia mengaku masih rugi. Sementara pengelolanya janji-jani melulu. ''Kecewa saya mas,'' katanya dengan logat Maduranya.
Di los makanan ini yang seharusnya bisa diisi lebih dari 60 pedagang, tapi faktanya hanya 12 orang yang berjualan. Mereka yang kini memajang dagangannya adalah pedagang emping, rengginang lorjuk, krupuk-krupukan, makanan basah dan kering lainnya. Bahkan di los ini bercampur dengan jualan mainan anak-anak. ''Tuh liat teman-teman saya sudah beber dagangan makanan lebaran, tapi pembeli hanya sedikit yang datang. Rugilah kami,'' cetusnya.
Antok, pedagang di los buah-buahan, menjualan pepaya (kates) punya keluhan sama. ''Saya dari Lumajang. Di sini sepi, ya saya lempar ke supermarket terdekat. Nunggu pembeli bisa bosok (membusuk, red) kates saya,'' ucap dia.
Menariknya, di sejumlah stand ini malah digunakan pedagang untuk memasak, sehingga terlihat kumuh. Dapur masak menambah suasana semrawut kotor itulah pemandangan sehari-hari yang tampak di pasar Puspo Agro ini. Ditanya soal ini, ia menjawab, "Kalau makan di luar tak sanggup, dagangan kurang laku, tak ada yang dimakan. Terpaksalah masak pakai keren (kompor bahan bakar kayu, red)."
Pantauan di lokasi, di deretan lapak milik Antok ini berukuran 2,5 x 6 meter persegi, masih ada 12 yang kosong. Belum lagi deret belakangnya dari hanya ada 5 orang penjual buah-buahan. Antok mengaku hanya bayar DP (uang muka) Rp1 juta/lapak. Nanti kalau sudah kelihatan ramai, baru membayar sewa Rp 24 juta untuk 10 tahun. Ketika ditanya kapan ramainya? ''Saya tidak tahu. Makanya biar gak rugi saya bawa dagangan ini keluar,'' katanya.
Di seberang kios Antok, ada lapak Pak Bary, yang jualan pisang. Dia terlihat sedang tidur. Wah kok ngorok? ''Iya nunggu pembeli,'' katanya. Kalau pisangnya membusuk gini siapa yang mau beli? ''Ya bosok ini hanya warnanya saja. Memang sudah jelek-jelek gak laku, saya rugi,'' keluhnya.
Ditanya soal kerugian, Bary mengaku sudah merugi hingga puluhan juta sejak berdagang di Puspa Agro. ''Saya jualan di sini sudah rugi Rp 25 juta. Saya tutupi dengan jualan saya di Pasar Keputran,'' ujar Bary, yang masih mempertahankan lapaknya di Jemundo. ''Katanya Pemprov kalau jalan tembusan dan tembusan tol sudah jadi bakalan ramai. Tapi saya gak tahu kapan, pengelolanya masih janji-janji melulu,'' tutur pedagang asal Tulungagung ini.
Stand Daging untuk Mainan Anak
Halima dan Juli juga mengaku bertahan karena masih gratis sewa lapaknya. Mereka hanya dipungut Rp 1 juta di awal. Pedagang lainnya yang menempati blok untuk stan daging dan ikan ini semestinya jualan gading, tapi mereka malah ada yang jualan krupuk, hasil kerajinan tas. Bahkan aneka mainan untuk anak- anak juga ada di stan khusus daging dan ikan.
Surabaya Pagi mengelilingi tiap los. Selain Los Daging dan Ikan, Buah dan Sayur, juga Los Beras dan Palawija. Letakknya di bagian belakang ukurannya hampir sama dengan los-los lainnya sekitar 15 x 50 meter, tapi satu pun lapak tak terisi. Hanya onggokan sejumlah karung, bertengger di sana. Satu orang pun tak ada di sana. Hanya dua orang satpam Puspo Agro seliweran kontrol dari los ke loas lainnya.
Ada juga area cold storage, gudang untuk menampung kiriman barang-barang jualan. Cold storage dan gudang-gudang itu pun terbuka lebar pintunya, tak ada isinya. Ada juga gedung Balai Penelitian, juga tertutup rapi. ''Pusp Agro memang beginilah. Sepi dua bulan yang lalu masih agak lumayan pedagangnya ada, pembelinya pun tak sesepi sekarang. Mereka pada kabur semua, tak betah . Untuk saat ini tak ada prospeknya. Nggak tau nanti. Tapi, kami ini kan butuh untung hari ini buat mutar uang,'' kata Putri, pedagang baju muslim dan bahan-bahan kecantikan.
Sebelah los daging, ada deretan kios jual makanan ikan dan burung. Kicauan burung-burungnya pun tak seramai pasar burung Bratang. Jenis burung yang dijual pun kelasnya masih rendah, tak menarik buat orang-orang yang hobi burung. ''Cicak rowo dari daerah larangan saja yang ada, orang lebih milih ke Larangan atau Bratang harganya lebih miring,'' kata seorang pembeli Yanto, yang ngakunya lagi survei sambil kulakan makanan burung dan burung untuk dijual lagi.
Sebelum memasuki areal sejumlah los, setelah melewati pintu masuk tampak kios-kios ukuran sekitar 2,5 x 6 dengan pintu rolling door berderet 30-an kios. Tapi yang tampak buka berjualan hanya 4 kios sederet dengan Bank Jatim. Menurut Budi, pemilik pracangan sebelah Bank Jatim, dia sudah berjualan 2 tahunan, tapi sampai sekarang masih sepi. ''Tiap hari ya sepi gini. Tapi saya tlateni saja karena kios ini gratis,'' tandasnya.
Sementara, selain kesan sepi seperti kuburan, kata Siti Halimah, juga panas, menjadikan pemandangan rerumputan taman di sepanjang pintu masuk serasa kering kerontang. Disana-sini terlihat taman-tamannya yang kurang terawat menjadikan Puspo Agro galau.
Pemendangan yang semrawut di Pasar induk Puspa Agro menjadikan pasar yang sudah beroperasi sejak 3 tahun lalu tidak mengalami peningkatan transaksi perdagangan maupun peningkatan penghuni yang menempati lapak-lapak, seperti apa yang digembar geborkan Puspo Agro sebagai sentra transaksi perdagangan Jawa Timur, Nasional dan Asia Tenggara tidak terwujud. "Wujudnya tinggal menjadi pasar stres, penghuninya stres," tutur Siti Halimah Tusadiyah asal Pamekasan itu.
Harus Dievaluasi
Koordinator Parliament Watch, Umar Sholehuddin, menilai PT Jatim Grha Utama (PT JGU) harus dikembalikan pada posisi semula sebagai BUMD yang berorientasi profit (profit oriented). Sebab, manajemen PT JGU sekarang ini yang dipimpin Erlangga Satriagung gagal mengemban tugas mengelola Pasar Puspa Agro yang bukan pada bidang garapannya.
Bukan hanya tak sukses dalam mengelola Pasar Puspa Agro, PT JGU juga kecil kontribusinya dalam mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya berkisar Rp 1,5 miliar-Rp 1,8 miliar. "PT JGU menangani Puspa Agro yang bukan core businiss-nya (bisnis inti, red). Jadi kalaupun dipaksakan akan menjadi percuma, sebab managemennya juga buruk, sehingga tidak menghasilkan PAD. Padahal, modal penyertaannya sangat besar," ungkap Umar, kemarin Untuk itu, lanjut dia, DPRD Jatim perlu kembali mengevaluasi PT JGU. "Kalau misalnya masih belum memberikan konstribusi PAD yang signifikan ya dilikuidasi saja," tandas dosen hukum Universitas Muhammadiyah itu.
Evaluasi dinilainya penting terlebih terkait penggunaan keuangan oleh PT JGU. Karena itu, keuangan PT JGU harus dilakukan audit investigatif oleh BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) atau BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Mengapa dengan pemberian modal sebesar itu, namun hasilnya tidak signifikan. Apalagi, PT JGU disebut-sebut tidak tranparan dalam memberikan laporan keuangannya ke DPRD Jatim.
Jika kemudian ditemukan indikasi tidak wajar, lanjut Umar, maka aparat hukum baik Kejaksaan maupun polisi menindaklanjutinya dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. "Yang jelas, DPRD harus melakukan evaluasi ini, karena ia sebagai lembaga kontrol," tandasnya. n tim
Tutup Pasar Puspa Agro, karena membebani APBD Jatim
SURABAYA – Keberadaan Pasar Puspa Agro yang dibangun dengan duit APBD Jatim senilai hampir Rp 500 miliar nyatanya tidak memberikan kontribusi sama sekali ke Pemprov Jatim. Proyek Puspa Agro dinilai hanya untuk menghambur-hamburkan uang rakyat. Untuk itu, kalangan dewan meminta agar Puspa Agro Jemundo segera ditutup karena tidak memberikan manfaat bagi petani maupun pengusaha.
Hal itu dikemukakan oleh sejumlah anggota Komisi A DPRD Jatim. Sahat Tua Simanjutak menegaskan tidak selayaknya Puspa Agro dipertahankan keberadaannya. Permasalahannya, selama ini pasar hortikultuta tersebut telah mengeruk anggaran dari APBD Jatim hampir 500 miliar rupiah. Nyatanya setelah berdiri selama dua tahun tidak ada sedikitpun kontribusi dari Puspa Agro yang diberikan kepada Pemprov Jatim. Jika terus dibiarkan maka akan membebani APBD Jatim.
Untuk itu, komisi yang membidangi hukum dan pemerintahan ini minta Balitbang untuk melakukan kajian terkait keberadaan Puspa Agro. "Daripada diteruskan berdiri tapi tidak membawa manfaat baik bagi petani maupun pengusaha lebih baik Puspa Agro ditutup saja. Toh selama ini terus merugi sementara disatu sisi APBD Jatim terus memberikan alokasi untuk mendukung agar pasar Hortikultura ini sukses,'' tegas pria yang juga politisi asal Partai Golkar, Kamis (2/8).
Dengan nada tinggi, Sahat juga menyoroti kasus kepemilikan lahan yang hingga kini belum selesai. Bahkan sudah masuk dalam ranah pidana. "Sejak awal berdiri, Puspa Agro terus dilanda masalah. Karenanya saya setuju ditutup saja, karena hingga saat ini status tanah untuk bedirinya pasar induk tidak jelas dan telah masuk ke ranah hukum," papar Sahat dengan mimik serius.
Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi A yang lain, M Farid. Menurutnya tak ada alasan untuk tidak menutup pasar induk Agrobis, karena memang keberadaannya selama ini telah membebani APBD Jatim. "Daripada diteruskan beroperasi lebih baik ditutup saja," tegas politisi Gerindra ini.
Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Jatim, Thoriqul Haq mengungkapkan untuk menutup pasar induk Agrobis tidak semudah membalik tangan. Sebaliknya, Pemprov harus tetap mempertahankan Puspa Agro demi membantu kelancaran para petani di Jatim dalam memasarkan produknya, pengusaha hortikultura serta mendorong terciptanya investasi di Jatim.
"Memang saya akui untuk menjadi pasar induk Pusa Agro dikunjungi oleh konsumen membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini karena untuk menggeser konsumen dari pasar lama seperti Keputran dan Pabean tidak semudah membalik tangan. Tapi sebaliknya perlu perhatian serius dan kerja keras," tegas politisi asal PKB Jatim ini dengan intonasi tinggi.
Oleh karenanya untuk menciptakan kondisi tersebut, dibutuhkan pengelolaan pasar induk Puspa Agro yang profesional. Selain harus ada tata kelola yang baik, dimana antar instansi saling berkesinambungan.
Terpisah, Dirut Puspa Agro, Erlangga Satriagung mengakui untuk menjadikan pasar induk Puspa Agro menghasilkan tidak semudah membalik tangan. Perlu waktu tujuh tahun sehingga pasar induk tersebut memberikan kontribusi ke PAD Pemprov Jatim. "Silahkan saja Komisi A berkomentar seperti itu. Tapi yang pasti setelah melakukan pembahasan dengan Komisi B dan C memang dipahami jika PAD dapat diperoleh dari pengelolaan pasar induk sekitar tujuh tahun,'' tegasnya.
Sedang Kepala Balitbang Jatim, Priyo Darmawan mengakui jika pihaknya diminta Komisi A untuk melakukan kajian dan penelitian terhadap kebeberadaab Puspa Agro. "Tapi untuk selanjutnya, kita tunggu hasil kajiannya. Dan perlu diingat saya disini diminta oleh Komisi A dan bukan gagasan dari kami,''tegas Priyo. rko
Hal itu dikemukakan oleh sejumlah anggota Komisi A DPRD Jatim. Sahat Tua Simanjutak menegaskan tidak selayaknya Puspa Agro dipertahankan keberadaannya. Permasalahannya, selama ini pasar hortikultuta tersebut telah mengeruk anggaran dari APBD Jatim hampir 500 miliar rupiah. Nyatanya setelah berdiri selama dua tahun tidak ada sedikitpun kontribusi dari Puspa Agro yang diberikan kepada Pemprov Jatim. Jika terus dibiarkan maka akan membebani APBD Jatim.
Untuk itu, komisi yang membidangi hukum dan pemerintahan ini minta Balitbang untuk melakukan kajian terkait keberadaan Puspa Agro. "Daripada diteruskan berdiri tapi tidak membawa manfaat baik bagi petani maupun pengusaha lebih baik Puspa Agro ditutup saja. Toh selama ini terus merugi sementara disatu sisi APBD Jatim terus memberikan alokasi untuk mendukung agar pasar Hortikultura ini sukses,'' tegas pria yang juga politisi asal Partai Golkar, Kamis (2/8).
Dengan nada tinggi, Sahat juga menyoroti kasus kepemilikan lahan yang hingga kini belum selesai. Bahkan sudah masuk dalam ranah pidana. "Sejak awal berdiri, Puspa Agro terus dilanda masalah. Karenanya saya setuju ditutup saja, karena hingga saat ini status tanah untuk bedirinya pasar induk tidak jelas dan telah masuk ke ranah hukum," papar Sahat dengan mimik serius.
Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi A yang lain, M Farid. Menurutnya tak ada alasan untuk tidak menutup pasar induk Agrobis, karena memang keberadaannya selama ini telah membebani APBD Jatim. "Daripada diteruskan beroperasi lebih baik ditutup saja," tegas politisi Gerindra ini.
Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Jatim, Thoriqul Haq mengungkapkan untuk menutup pasar induk Agrobis tidak semudah membalik tangan. Sebaliknya, Pemprov harus tetap mempertahankan Puspa Agro demi membantu kelancaran para petani di Jatim dalam memasarkan produknya, pengusaha hortikultura serta mendorong terciptanya investasi di Jatim.
"Memang saya akui untuk menjadi pasar induk Pusa Agro dikunjungi oleh konsumen membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini karena untuk menggeser konsumen dari pasar lama seperti Keputran dan Pabean tidak semudah membalik tangan. Tapi sebaliknya perlu perhatian serius dan kerja keras," tegas politisi asal PKB Jatim ini dengan intonasi tinggi.
Oleh karenanya untuk menciptakan kondisi tersebut, dibutuhkan pengelolaan pasar induk Puspa Agro yang profesional. Selain harus ada tata kelola yang baik, dimana antar instansi saling berkesinambungan.
Terpisah, Dirut Puspa Agro, Erlangga Satriagung mengakui untuk menjadikan pasar induk Puspa Agro menghasilkan tidak semudah membalik tangan. Perlu waktu tujuh tahun sehingga pasar induk tersebut memberikan kontribusi ke PAD Pemprov Jatim. "Silahkan saja Komisi A berkomentar seperti itu. Tapi yang pasti setelah melakukan pembahasan dengan Komisi B dan C memang dipahami jika PAD dapat diperoleh dari pengelolaan pasar induk sekitar tujuh tahun,'' tegasnya.
Sedang Kepala Balitbang Jatim, Priyo Darmawan mengakui jika pihaknya diminta Komisi A untuk melakukan kajian dan penelitian terhadap kebeberadaab Puspa Agro. "Tapi untuk selanjutnya, kita tunggu hasil kajiannya. Dan perlu diingat saya disini diminta oleh Komisi A dan bukan gagasan dari kami,''tegas Priyo. rko
Setiap Tahun Selalu Minta Dana
SURABAYA – Pembangunan Pasar Induk Agrobisnis (PIA) Jemundo selama ini memang selalu menuai masalah. Sejak dari proses pengadaan lahan, pembangunan pasarnya telah menimbulkan banyak 'korban' baik dari sisi anggaran pemerintah maupun para pelakunya yang tersangkut kasus korupsi.
Data yang dihimpun Surabaya Pagi, dari sisi anggaran, total investasi PIA Rp 638 miliar. Nilai anggaran ini awalnya dibagi antara investor dan APBD. Dari APBD Jatim, biaya yang dianggarkan sebesar Rp 308 miliar yang merupakan penyertaan modal Pemprov ke PIA Jemundo. Sedangkan sisanya Rp 330 miliar ditanggung investor. Namun, dalam perkembangannya, untuk investasi PIA ini hampir semuanya dibebankan ke Pemprov, karena pihak investor tidak jadi menanamkan investasinya.
Beban ke APBD Jatim ini ini terlihat selama tiga tahun melalui APBD Jatim 2009, 2010 dan 2011. Pembagian alokasi anggaran tersebut antara lain sebesar Rp314,166 miliar pada APBD 2009, Rp200 miliar pada APBD 2010, dan Rp124,307 miliar pada APBD 2011. Total seluruhnya Rp638,473 miliar.
Dana ini mulai cair pertama kali Rp 60 milyar pada akhir Desember 2008 dan 5 November 2009 sebesar Rp 162 miliar. Lalu ada anggaran tambahan Rp 50 miliar yang cair pada Mei 2010. "Modal yang pertama Rp 60 miliar, itu kami hanya pakai Rp 46 miliar, yang 14 miliar dipakai untuk pembebasan jalan akses," kata Erlangga, dalam hearing dengan Komisi B DPRD Jatim beberapa waktu lalu, kemarin.
Selain membebani dari sisi APBD, mekanisme pengurukan lahan seluas 48 hektar dengan dana APBD senilai Rp 8,4 miliar pada 2007 lalu juga mengundang kecurigaan dan diduga tanpa tender alias penunjukan langsung.
Informasi yang diperoleh Surabaya Pagi, untuk melakukan Pengurukan dan pematangan tanah 20 hektare dari 48 hektare PIA. Perkiraan anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 8,4 miliar yang terbagi dalam beberapa termint pencairan. Diantaranya, dalam PAK APBD 2002 sebesar Rp 6.322.688.000, APBD 2003 Rp 9.949.500.000, PAK 2003 Rp 8 miliar, APBD 2004-2005 Rp 25 miliar dan sisanya dialokasikan pada anggaran tahun berikutnya. rko/ri
Data yang dihimpun Surabaya Pagi, dari sisi anggaran, total investasi PIA Rp 638 miliar. Nilai anggaran ini awalnya dibagi antara investor dan APBD. Dari APBD Jatim, biaya yang dianggarkan sebesar Rp 308 miliar yang merupakan penyertaan modal Pemprov ke PIA Jemundo. Sedangkan sisanya Rp 330 miliar ditanggung investor. Namun, dalam perkembangannya, untuk investasi PIA ini hampir semuanya dibebankan ke Pemprov, karena pihak investor tidak jadi menanamkan investasinya.
Beban ke APBD Jatim ini ini terlihat selama tiga tahun melalui APBD Jatim 2009, 2010 dan 2011. Pembagian alokasi anggaran tersebut antara lain sebesar Rp314,166 miliar pada APBD 2009, Rp200 miliar pada APBD 2010, dan Rp124,307 miliar pada APBD 2011. Total seluruhnya Rp638,473 miliar.
Dana ini mulai cair pertama kali Rp 60 milyar pada akhir Desember 2008 dan 5 November 2009 sebesar Rp 162 miliar. Lalu ada anggaran tambahan Rp 50 miliar yang cair pada Mei 2010. "Modal yang pertama Rp 60 miliar, itu kami hanya pakai Rp 46 miliar, yang 14 miliar dipakai untuk pembebasan jalan akses," kata Erlangga, dalam hearing dengan Komisi B DPRD Jatim beberapa waktu lalu, kemarin.
Selain membebani dari sisi APBD, mekanisme pengurukan lahan seluas 48 hektar dengan dana APBD senilai Rp 8,4 miliar pada 2007 lalu juga mengundang kecurigaan dan diduga tanpa tender alias penunjukan langsung.
Informasi yang diperoleh Surabaya Pagi, untuk melakukan Pengurukan dan pematangan tanah 20 hektare dari 48 hektare PIA. Perkiraan anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 8,4 miliar yang terbagi dalam beberapa termint pencairan. Diantaranya, dalam PAK APBD 2002 sebesar Rp 6.322.688.000, APBD 2003 Rp 9.949.500.000, PAK 2003 Rp 8 miliar, APBD 2004-2005 Rp 25 miliar dan sisanya dialokasikan pada anggaran tahun berikutnya. rko/ri
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar