Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia – Uni Eropa (CEPA) Di Tengah Propganda Nasionalisme Ekonomi Menjelang Pemilihan Presiden 2014
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Pemerintahan SBY secara mengejutkan mengambil kebijakan untuk tidak memperbaharui Perjanjian Kerjasama Investasi Bilateral (Bilateral Investment Treaty/BIT) antara Indonesia dengan Belanda. Tidak hanya itu, pemerintah juga akan mengevaluasi sedikitnya 67 BIT yang sebelumnya sudah ditandatangani.
BIT adalah perjanjian perlindungan Investasi tingkat tinggi, yang melindungi investor asing dari segala bentuk nasionalisasi, kerugian, dan gangguan politik lainnya.
Sebagai mana di release sebuah media eropa yang menyatakan bahwa "According to the Netherlands Embassy in Jakarta, Indonesia has informed the Netherlands that it has decided to terminate the Bilateral Investment Treaty between the two nations from 1 July 2015. The Embassy also states that "the Indonesian Government has mentioned it intends to terminate all of its 67 bilateral investment treaties."(www.lexology.com)
Reaksi pemerintah oleh banyak kalangan dipandang sebagai respon atas maraknya gugatan terhadap Indonesia dengan menggunakan BIT. Sebelumnya pemerintah digugat Churcill Mining 2 miliar dolar ke ICSID menggunkan BIT Indonesia – United Kingdom (UK). ICSID telah memutuskan Indonesia akan membayar ganti rugi kepada Churchill Mining senilai 1,05 miliar US dolar termasuk bunga. Selain itu terdapat beberapa gugatan lainnya yang dilakukan oleh perusahaan asing ke pengadilan arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
Apa konsekuensi dari pembatalan BIT? Tentu, akan berimplikasi luas terhadap berbagai perjanjian internasional lainnya, terutama yang membuat klausul tentang Bab Investasi (Investment Chapter). Salahsatunya adalah perjanjian antara Indonesia – European Union (EU). Perjanjian yang dikenal denganComprehenship Economic Partnership Agreement (CEPA), memasukkan BIT sebagai bagian utama dari perjanjian.
Langkah yang diambil pemerintahan SBY di akhir masa jabatannya ini patut direspon mengingat akan membawa konsekuensi pada pemerintahan berikutnya. Sikap ini mestinya ditindak lanjuti oleh pemerintahan yang akan dihasilkan setelah Pilpres 2014 mendatang. Namun tampaknya sikap pemerintahan SBY tersebut belum diketahui atau dimengerti oleh para kandidat yang bertarung dalam pemilu 2014 mendatang.
Sementara isu utama yang diusung oleh para kandidat pasangan Capres Cawapres dalam pemilu 2014 adalah tema-tema nasionalisme. Kandidat Jokowi-JK menyebutkan dalam visi misi mereka tentang gagasan utama pemerintahannya ke depan untuk mengusung Trisakti (mengambil dari gagasan nasionalismenya Soekarno Proklamator RI) meskipun dalam uraiannya masih sangat sumir.
Sementara pasangan Prabowo-Hatta Rajasa juga mengusung gagasan nasionalisme,
namun dalam urian visi misi juga tidak secara tegas menyebutkan operasionalisasinya. Apa yang ditawarkan oleh pasangan Capres Cawapres tampaknya lebih merupakan strategi sales marketing dalam rangka pemenangan Pilpres ditengah menguatnya isu nasionalisme beberapa tahun terahir.
Dalam pandangan IGJ sedikitnya ada 3 hal yang menjadi penghambat terwujudnya nasionalisme Indonesia saat ini yaitu ; (1) berbagai perjanjian internasional yang mengikat (legally binding) termasuk perjanjian CEPA. (2) Berbagai peraturan perundangan yang lahir dalam era reformasi seperti UUPM, UU Sektor Migas, Energi, UU Sektor Keuangan dan Perbankan, UU sektor Pertanian, Perburuhan, UU tentang Pemerintahan Daerah, belakangan UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Seluruh UU yang lahir dalam era reformasi tidak lain adalah pelembagaan kepentingan
dominasi modal asing dalam ekonomi nasional.
Lalu, (3) adalah berbagai kontrak penjualan kekayaan alam dan kontrak dalam penguasaan kekayaan alam, seperti Kontrak Karya (KK), kontrak kerjasama migas (KKS), kontrak kerja batubara, HGU, HPH, dll, yang telah diserahkan pemerintah kepada investor untuk dikuasai dalam jangka waktu yang cukup lama.
Langkah nasionalisasi dalam berbagai sektor ekonomi sebagaimana amanat UUD 1945 asli, tentu akan menimbulkan konsekuensi gugatan arbitrase internasional oleh perusahaan-perusahaan swasta melalui peradilan internasional sebagaimana yang ditelah disepakati dalam perjanjian internasional. Kecendrungan pemerintah Indonesia untuk membuat perjanjian secara brutal akan menjadi hambatan bagi terwujudnya kedaualatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Terkait itu Indonesia for Global Justice (IGJ) sejak tahun 2011 lalu telah melakukan riset dan monitoring terkait perjanjian CEPA dan menemukan banyak indikasi bahwa perjanjian ini akan membawa kerugian yang besar bagi ekonomi Indonesia. Sejak dimulainya perundingan melalui Partnership Co-operation Agreement/PCA (2009) dan Rekomendasi Joint Study Group (2011) antara pemerintah Indonesia dan EU menunjukkan bahwa arah perjanjian ini merupakan terjemahan dari seluruh kepentingan EU di Indonesia. Sebaliknya, tanpa membawa kepentingan Indonesia terhadap EU.
Perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka CEPA merupakan perjanjian ekonomi yang bersifat menyeluruh (comprehensive) meliputi isue investasi, perdagangan, jasa-jasa dan Intelectual Property Right (IPR). Perjanjian ini merupakan bentuk penyerahan kedaualatan Indonesia kepada rezim internasional dan menyerahkan konflik akibat ketidak adilan ekonomi yang terjadi pada hukum hukum internasional. Para Capres tidak dalam kapasitas pemahaman yang cukup memadai terkait dengan konsekuensi perjanjian internasional semacam ini. Sehinga visi misi yang bombastis terlihat bak "sales marketing" semata.
Jakarta, 29 Mei 2014
Lampiran – Lampiran
A. Kasus Gugatan terhadap Indonesia dalam ICSID
- Planet Mining Pty. Ltd. v. Republic of Indonesia, ICSID Case No. ARB/12/40, December 26, 2012.
- Churchill Mining PLC v. Republic of Indonesia, ICSID Case No. ARB/12/14, June 22, 2012,
- Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia, ICSID Case No. ARB/11/13, May 19, 2011
- Cemex Asia Holdings Ltd. v. Republic of Indonesia, ICSID Case No. ARB/04/3, Claimant brought a claim for USD 400 Million in damages under the 1987 ASEAN Agreement for the Promotion and Protection of Investments against the Indonesian government for blocking investment in an Indonesian firm. The case was eventually settled., January 27, 2004
- Amco Asia Corporation, et al. v. Republic of Indonesia, ICSID Case No. ARB/81/1, February 27, 1981, Dispute arose out of the implementation of an agreement for the construction and management of a hotel/office complex in Jakarta for the duration of 30 years. In 1980, PT Wisma, an Indonesian company under the guidance of the Indonesian government, forcibly took over management of the hotel. In 1980, the Indonesian government revoked Amco's license to engage in business ventures in Indonesia. In 1984, the tribunal rendered a decision in favor of the claimants that granted USD 3.2 Million in damages plus interest from date of request for arbitration. This award was annulled in 1986 and resubmitted to arbitration in 1987. In its 1990 decision, the second tribunal found that the takeover of the hotel and the revocation of the license had been internationally unlawful acts attributable to Indonesia. It then proceeded to award a discretionary lump sum of USD 10 Thousand for the general disturbance that occurred in April – July 1980 as well as the amount of USD 2.696 Million including 6% in simple interest as damages.
- Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia, case Century
- Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and others, ICSID Case No. ARB/07/3, January 18, 2007
B. Fasilitas Investasi dalam CEPA
- Pra-pendirian/fasilitasi ; dimana Pembatasan kepemilikan asing: sehingga semua persyaratan ambang batas ekuitas dan joint venture dipandang penanam modal sebagai hambatan dalam melakukan bisnis. Dikatakan bahwa investor asing lebih senang jika mampu mengendalikan investasi mereka. Jika perusahaan asing tidak dapat memiliki kepemilikan mayoritas, perusahaan tersebut tidak bisa melakukan investasi sesuai kehendak mereka. Oleh karena itu, mereka tidak akan menanamkan modal dengan cara yang sama seperti di negara lain yang memungkinkan hal tersebut. Perusahaan tidak akan melakukan transfer teknologi ataupun pengetahuan dan cara pengerjaan, juga keahlian in-houseperusahaan yang lainnya, karena tidak ingin berisiko kehilangan aset penting mereka di perusahaan.
- Persyaratan konten lokal: Perusahaan global kerap memiliki strategi produk global yang diciptakan sebelum memasuki suatu pasar spesifik. Jika persyaratan konten lokal yang ditentukan oleh negara terlalu ketat hingga perusahaan perlu untuk memodifikasi produksinya atau rantai suplainya, hal ini dianggap sebagai disinsentif untuk menanam modal di pasar tersebut. secara umum persyaratan lokal konten lebih banyak dikaitkan dengan masalah infrastruktur.
- Iklim perpajakan: Dari perspektif Kelompok Visi, penanam modal Indonesia dan UE akan memetik keuntungan dari perjanjian yang transparan, dan dapat diprediksi dengan semua negara-negara UE. Sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, dengan 19 dari 27 Negara Anggota UE.
- Perlindungan Investasi Pasca-pendirian ; Perjanjian Investasi Bilateral ini memberikan perlindungan hukum untuk fase investasi pasca-pendirian. Elemen-elemen dari perjanjian ini meliputi jaminan hukum untuk: 1) Perjanjian Non-diskriminasi, 2). Nasionalisasi/ ekspropriasi, 3) Kompensasi atas kerugian. 4) Subrogasi, 5). Transfer 6). Penyelesaian sengketa.
- C. Perjanian BIT Indonesia Belanda
Ketentuan | Keterangan |
Pengertian/definisi | Berisi definisi investasi, hak yang diperoleh, termasuk pengakuan haki, konsesi, dan prospek sumber daya alam, kewarganegaran dan kewilayahan. |
Promosi dan perlindungan investasi | Kerangka hukum yang menjamin keuntungan dan melindungi dari berbagai faktor baik dari dalam negara maupund ari luar. |
Ketentuan perlakuan non-diskriminasi (Most Favoured Nation) | Memberikan perlakukan tanpa diskriminasi baik dengan perusahaan dalam negeri maupun perusahan negara lain, termasuk keamanan fisik, penerapan pajak, dan perlakuan khusus. |
Perpajakan | Insentif pajak, penghindaran pajak berganda, dan pajak yang bersifat timbal balik |
Pengambilalihan aset oleh negara (expropriation) | Kopensasi atas perampasan hak secara langsung atau tidak langsung, tindakan nasionalisasi, diambil alih atau mengalami tindakan yang berakibat sama dengan nasionalisasi atau pengambilalihan. |
Kompensasi atas kerugian (Compensation for Losses) | Kompensasi atau ganti rugi yang adil dan rasional atas kerugian akibat perang atau konflik bersenjata lainnya, revolusi, negara dalam keadaaan darurat, pemberontakan, kerusuhan atau huru hara. |
Transfer | Kebebasan melakukan transfer dalam mata uang yang bebas, seperti laba, bunga, dividen dan penghasilan lainnya; dana yang diperlukan untuk akuisisi bahan baku atau bahan pembantu, semi-fabrikasi atau selesai produk, atau untuk mengganti aset modal guna melindungi kesinambungan penanaman modal, dana tambahan yang diperlukan untuk pengembangan penanaman modal, dana pembayaran kembali pinjaman, royalti atau biaya, pendapatan perorangan, hasil penjualan atau likuidasi dari penanaman modal, kompensasi atas kerugian dan kompensasi atas pengambilalihan. |
Subrogasi | Jaminan atas resiko usaha dan asuransi |
Penyelesaian sengketa antara pihak-pihak terkait | Mekanisme penyelesaian sengketa |
Share !
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar