Operasi Busuk di Mabes Polri dan KPK
Prahara di dua lembaga hukum yakni Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyita perhatian publik. Karena, tidak lepas dari proses politik yang sedang berlangsung terkait pencalonan Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) oleh Presiden Joko Widodo. Publik digegerkan ketika pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto (BW) dengan gagah perkasa mengumumkan BG sebagai tersangka kasus suap, sehari menjelang pelaksanaan fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri di DPR.
Masyarakat heboh, karena akan jadi sejarah baru di dunia dimana ada seorang presiden mengajukan calon kapolri dan jadi tersangka korupsi. Sementara KPK dengan gayanya yang genit, mencibir dan seperti meledek presiden yang mengajukan calon Kapolri tanpa melibatkan KPK saat penjaringannya sebelum diajukan ke DPR. Wakil Ketua KPK BW misalnya, mengulang-ulang kalimat bahwa BG dilaporkan masyarakat ke KPK terkait suap yang diterima melalui rekeningnya. Sedangkan Samad berulang-ulang pula meminta presiden manarik pencalonan BG sambil menekankan jangan pancing-pancing keberanian KPK.
Kasus yang dijeratkan kepada BG, ketika pangkatnya masih bintang satu dan terjadi pada 2003-2006. Dilaporkan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) ke Mabes Polri pada 2010 termasuk 16 rekening jenderal lainnya, karena dianggap tidak wajar. Dua tahun kemudian, pada 2012 Bareskrim Mabes Polri yang dipimpin Komjen Sutarman, menyatakan laporan PPATK sudah dapat diklarifikasi dan dipertanggungjawabkan oleh jenderal-jenderal yang masuk daftar laporan PPATK. Tidak ada tindak pidana terkait transaksi pada rekening tersebut. Hingga akhirnya 15 Januari 2015 melalui rapat paripurna, DPR menetapkan BG sebagai Kapolri baru dan menyetujui pemberhentian Kapolri Jenderal Sutarman.
Dinamika di Mabes Polri langsung bergerak cepat usai keputusan rapat paripurna tersebut. Keesokan harinya, Jumat (16/1) Kabareskrim Komjen Suhardi Alius dicopot dari jabatannya dan digantikan Irjen Budi Waseso. Pergantian ini tidak lepas dari klik-klikan di Mabes Polri dimana adanya persaingan tidak sehat oleh sekelompok pendukung calon Kapolri yang berpangkat bintang tiga. Sesuai UU Polri, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyeleksi dan mengajukan nama-nama calon Kapolri kepada presiden untuk diputuskan. Dari Sembilan jenderal bintang tiga, muncul tiga nama yang paling berpeluang yakni, Kalemdikpol Komjen Budi Gunawan, Irwasum Komjen Dwi Prayitno dan Kabareskrim Komjen Suhardi Alius.
Setelah Presiden Jokowi memutuskan mengajukan BG menjadi calon tunggal Kapolri, markas Polri di Jalan Trunojoyo mulai bergolak. Keputusan Jokowi dinilai tunduk pada kekuasaan partai politik. Karena, BG adalah mantan ajudan Presiden Megawati yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan, tempat Jokowi bernaung secara politik. Tidak hanya itu, keresahan juga dirasakan sekelompok jenderal bintang dua dan bintang satu yang merasa terancam sehingga muncul isu jenderal-jenderal yang didukung Presiden SBY akan dihabisi. Upaya menggagalkan Budi ke kursi Tri Brata-1 pun berembus kencang.
Dan manuver paling kencang berasal dari lingkungan Bareskrim, dimana Kapolri incumbent Jenderal Sutarman dan Komjen Suhardi Alius banyak berperan. Data lama disedot dengan cepat dan yang ditunjuk menjadi operator adalah Brigjen KR, salahsatu direktur di direktorat yang membawahi bidang ekonomi dan perbankan. Brigjen KR adalah tangan kanan Suhardi atau biasa disebut sebagai ATM Kabareskrim. Brigjen KR, sebelumnya menjabat bagian hukum di Bareskrim dan penyelia antara Bareskrim Polri dengan PPATK dan KPK. Pelaksana tugas pengumpulan dan pengolahan data dilaksanakan Kombes Mahendra dan AKBP Tatok yang merupakan anak buah langsung Brigjen KR.
Data yang disedot dan diolah merupakan dokumen klarifikasi Breskrim Polri ketika memeriksa sejumlah jenderal yang transaksi rekeningnya diduga mencurigakan pada masa Kabareskrim dijabat Sutarman. Antara lain, terkait Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Komjen Budi Gunawan yang menjadi calon tunggal Kapolri. Brigjen KR yang menguasai betul koordinasi dengan PPATK dan KPK lantas bergerak cepat. Termasuk mengorbankan koleganya di Bareskrim, Brigjen HP yang pernah dimintai kesaksiannya saat Bareskrim memeriksa BG. Keterangan Brigjen HP dianggap melindungi BG saat yang bersangkutan masih berpangkat AKBP dan dianggap tahu betul soal transaksi sejumlah jenderal yang dilaporkan PPATK.
Tidak hanya terfokus pada pengumpulan dan pengolahan data, termasuk juga penggalangan logistik untuk operasi intelijen termasuk pembentukan opini yang melibatkan sejumlah LSM dan wartawan. Saat ini, ada lima kasus aneh yang bermotif pemerasan sedang ditangani Brigjen KR, Kombes Mahendra dan AKBP Tatok dengan melibatkan bekas wartawan senior dan oknum di kejaksaan agung. Tujuan dari operasi mafia hukum tersebut adalah untuk memuluskan jalan Suhardi ketika KPK sudah menetapkan BG sebagai tersangka. Dengan harapan, Jokowi akan menarik nama BG dan menggantinya dengan Suhardi Alius yang punya peluang paling besar ketimbang Dwi Prayitno. Entah sudah berapa puluh miliar duit yang mereka peras dari orang-orang yang sudah ditetapkan tersangka dan ditakut-takuti akan ditahan dari kasus yang dikriminalisasi dan melanggar prosedur. Dana-dana tersebut dipakai untuk operasi intelijen menggalang kekuatan internal dan eksternal Mabes Polri untuk menggagalkan BG.
Imbalan dari semua operasi busuk ini, Brigjen KR akan dipromosikan menjadi Kapolda di daerah basah di Sumatera, tempat banyak ditemukan illegal logging dan tambang minyak milik asing. Kombes Mahendra akan mendapatkan bintang satu dan dikirim sebagai peserta Sespati Polri dan AKBP Tatok dijanjikan jabatan Kasubdit atau direktur Serse di Polda.
Umpan yang digarap Brigjen KR cs tersebut dilepas kepada penyidik di KPK berinisial NB dan Y. Keduanya berasal dari satuan serse Polri yang sudah bertugas di KPK lebih dari dua periode. Berbekal data-data tersebut, NB dan Y melapor kepada pimpinan KPK dalam sebuah kesempatan gelar perkara kasus SKK Migas sehari sebelum Jokowi mengirimkan surat ke DPR terkait penunjukan BG sebagai calon tunggal Kapolri ke DPR. Pimpinan KPK bereaksi cepat dan menggelar rapat khusus pada 10 Januari di hari Sabtu untuk membidik BG sebagai tersangka. Dari empat pimpinan KPK, hanya Zulkarnain yang tidak hadir. Namun dia dihubungi dan meminta keputusan menetapkan BG sebagai tersangka asal prosedurnya benar, dia setuju.
Apakah ada kaitan penetapan BG sebagai tersangka dengan ambisi Abraham Samad untuk menjadi Wapres Jokowi seperti yang diungkapkan Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristyanto? Karena Hasto pernah mengungkapkan kepada media massa bahwa pada pertemuan keenam dengan Abraham Samad setelah Jokowi memutuskan untuk bergandengan dengan Jusuf Kalla, Samad mengatakan bahwa BG lah yang jadi biang kegagalannya menjadi cawapres Jokowi. Samad juga mengungkapkan bahwa dia telah menyadap sejumlah percakapan elite PDIP terkait proses penjaringan Wapres Jokowi. Wallahualam.
Lebih dari itu, intrik dan manuver yang digalang sejumlah oknum di Mabes Polri dan KPK telah memanfaatkan lembaga hukum milik Negara tersebut untuk memenuhi syahwat dan ambisi orang perorang dan membuat gaduh republik ini. Rakyat yang tidak mengerti duduk soal, dibiarkan ikut terlena dan larut dalam permainan elite tersebut. Alhasil negeri ini jadi ajang caci maki dan adu murka. Semua kembali kepada Jokowi, kepala Negara yang secara dejure diakui di seluruh dunia.***
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar