Selasa, 24 Maret 2020

[Media_Nusantara] Politik utang di balik Corona

 

Politik utang di balik Corona

By. Erizeli Jely Bandaro

Italia memang suffering. Tetapi sejak tahun 2013, Italia sudah suffering karena gagal bayar utang. Sejak itu kisruh politik sebagai dampak krisis ekonomi terjadi. Tahun 2018, Italia mengalami perebutan kekuasaan yang dramatis antara populis dan anggota parlemen yang pro UE. Keadaan ini memicu krisis politik semakin memanas karena sejumlah kelompok gagal hasilkan pemerintahan koalisi baru. Walau akhirnya kisrus politik dapat solusi namun tahun 2019, Komisi Ekonomi Uni Eropa membunyikan 'alarm' atas kondisi ekonomi Italia. Italia mengarah ke resesi.

Ketika Virus Corona melanda Italia, Eropa panik dan dunia lebih panik. Kepanikan Eropa terhadap apa yang terjadi pada Italia beralasan. Karena Italia merupakan negara ketiga dengan ekonomi terbesar di Zona Eropa. Namun Italia juga memiliki tingkat hutang terbesar kedua di zona Eropa. Yang lebih konyol lagi adalah 36% utang negara Italia kepada investor asing, terutama China. Kini rasio utang nasional italia terhadap PDB mencapai 135% dengan nilai 2,3 triliun euro. 

Sejak Italia mengalami kasus corona terbesar kedua di dunia setelah Wuhan,  semua perundingan utang kepada Italia di tunda. Kalaulah akhirnya Italia dapat moratorium utang, maka dapat dipastikan ekonomi zona Eropa selamat dari resesi. Bisa saja corona membawa berkah excuse menyelesaikan kasus gagal bayar yang membuat eropa limbung dan sulit keluar dari krisis ekonomi.

Krisis utang Italia juga terjadi pada Amerika yang rasio utang terhadap PDB diatas 100%, Jepang juga. Semua negara ASEAN yang paling parah adalah Singapora dan Malaysia. Rasio utang Singapore terhadap PDB mencapai 110%. Itu artinya pendapatan rakyat setahun dibawah utang negara. Sementara Malaysia rasio utang mencapai 76%. Indonesia mendekati 30%. Rasio utang China berkisar 46% dari PDB, tidak jauh beda dengan Iran yang rasio utangnya mencapai 45% dari PDB. Rasio utang India berkisar 70% dari PDB. Di tengah pasar menyusut pendapatan turun, utang memang mimpi buruk. 

Semua negara yang berutang besar tersebut paling kencang teriak soal wabah corona.  Sementara negara lain seperti Pakistan, Bangladesh , Myanmar, Afrika dan Amerika latin, dan lainnya, memilih pasrah saja. Mau alasan apapuh mereka memang udah susah kalau ditagih utang.  Sementara Rusia rasio utang terhadap PDB hanya berkisar 15% termasuk sangat rendah dibandingkan dengan kekuatan ekonominya. Rusia tidak begitu terdengar mendramitisir kasus Corona. Sama dengan Korea Utara yang praktis nol hutang luar negeri. 

Dunia modern dunia propaganda. Tekhnologi yang terhebat dari abad 21 sekarang adalah teknologi informasi, yang membuat berita apapun bisa tersebar dalam hitungan detik tanpa ada batas ruang dan waktu. Kepanikan kasus COVID-19 memang ampuh memaksa dunia melihat penyelesaian utang dengan cara unconventional. Ya kalau bisa ada platform penyelesaian utang tanpa bayar utang. Entah  bagaimana skemanya. Setidaknya dengan adanya kasus corona, semua investor jahit dompet, dan negara berlomba lomba keluarkan stimulus alias cetak uang. Mata uang duniapun runtuh. Bursa jatuh. Mau tahan atau engga. Tetap  saja uang di dompet delusi.

Sebagai pemain pasar uang aliran fundamental, saya melihat persoalan menjelang resesi dunia selalu ada excuse, bisa perang , bisa pula wabah. Semua berujung kepada total solution, buy low, sell high and pay later. Walau karena itu harus mengorbankan nyawa manusia dalam jumlah besar. Politisi memang bandit.


Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

__._,_.___

Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar