Yusril: SBY Tak Paham Soal Hukum
"Kita lihat presiden kita sekarang ini, sama sekali tidak mengerti dengan masalah hukum ini," kata mantan Sekretaris Negara itu.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, penegakan hukum di Indonesia harus dimulai dari pemimpinnya, dalam hal ini seorang presiden.
"Memang dalam masalah ini diperlukan komitmen pemimpin negara dalam membangun sebuah negara hukum. Jadi itu dimulai dari kemauan politik dari level presiden sendiri, baru yang lain-lain," kata Yusril di Jakarta, Senin (30/7).
Presiden, kata Yusril, yang harus pertama kali dilakukan adalah membenahi norma-norma hukum. Menurut dia, perangkat hukum sudah ada tapi tidak terumuskan dengan sistematik dan konsepsionla sehingga norma-norma hukum itu tidak mengalir sebagaimana yang ada di UUD 1945.
"Sekarang ini, norma-norma hukum kita itu, secara horisontal tidak sinkron dan secara vertikal bertabrakan satu sama lainnya. Akibatnya terjadi kekacauan dimana-mana. Jangan dilupakan, kekacauan dari sistem hukum itu akan dampak luas dan ke semua bidang, ekonomi, sosial dan politik. Itu yang terjadi sekarang ini," katanya.
Sebagai contoh, sekarang bisakah orang yang tidak mengerti soal hukum sama sekali, tidak punya komitmen sama sekali tentang hukum disuruh mengurus masalah negara hukum. Orang yang tidak mengerti soto, disuruh mengurus dan mengelola warung soto. Ada yang tidak tepat dan pas, tidak mesti bahwa pemimpin itu sarjana hukum, tapi paling tidak ada pemahaman soal hukum.
"Kita lihat presiden kita sekarang ini, sama sekali tidak mengerti dengan masalah hukum ini," kata mantan Sekretaris Negara itu.
Ia membandingkan zaman Soeharto dimana Menteri Sekretaris Negara dijabat Moerdiono yang mampu memahami masalah hukum, walaupun Moerdiono tidak memiliki dasar-dasar hukum.
Yusril menyebutkan, contoh yang saling bertabrakan baik secara horizontal maupun vertikal adalah pelaksanaan UU 10 Tahun 2004 dan diubah menjadi UU 12 Tahun 2011 tentang Otonomi Daerah.
Dengan konsep otonomi daerah sekarang ini, dimana ada pembagian kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah, itu ketika dituangkan dalam aturan norma hukum, itu tidak sinkron sama sekali.
"Misalnya masalah pertanahan, itu kewenangan siapa, pusat atau daerah? Ketika masalah pertanahan yang tidak jelas itu, lalu timbul masalah perizinan sehinggaa diatas lahan yang sama muncul beberapa jenis hak dan beberapa jenis perizinan yang satu sama lain bertabrakan yang masing-masing diberikan oleh instansi yang berbeda. Itu yang bersifat horizontal," urai Yusril.
Kemudian Menteri Kehutanan mempunyai kewenangan mengatasi hutan yang diatas lahan tersebut. Menteri ESDM berwenang dengan sumber daya alam yang ada dibawahnya dan pihak perkebunan juga merasa punya wewenang sehingga masing-masing memberikan perizinan.
"Jadi terkesan negara mengadu domba rakyatnya sendiri," tambah Yusril.
Disebutkan juga, misalnya, lahan orang Dayak. Mereka sudah ada secara turun temurun dan lebih tua dari penjajah dan hubungan orang dengan tanah itu bersifat abadi. Tidak tergantung pada negara. Nenek moyang mereka sudah ada jauh sebelum ada Belanda dan negara RI. Yang berlaku di situ adalah hukum adat
"Pemerintah sekarang ini mirip pemerintahan Daendels, kalau tidak bisa buktikan tanah ini milik anda, maka disita negara, kan gila dan negara itu sesuatu yang muncul belakangan. Negara ini kacau balau karena secara horisontal tidak sinkron, secara vertikal hukumnya bertabrakan satu sama lain. Negara semakin kacau dan ditengah-tengah konflik itu dengan mudah dipermainkan, dimanfaatkan oleh yang lain," katanya.
Dari aspek penegakan hukum, sepanjang saya tangani perkara di Kalimantan, pengusaha berlawanan dengan masyarakat tradional dan masyarakat tradisional juga kadang-kadang diperalat oleh pengusaha lain untuk mengganggu pengusaha lain dan aparatur penegak hukum dengan mudah menjadikan orang tersangka tapi dibelakang itu mereka menjadi orang suruhan dari kelompok pengusaha yang ingin mencaplok lahan.
"Saya anggap ini masalah serius dan sayangnya presiden kita tidak mengerti soal ini dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Advice atau saranpun dikasih oleh orang-orang yang tidak kompeten, mulai dari Denny Indrayana, Amir Syamsuddin, ngawurkan semua dan apalagi ditempatkan Mensesneg yang sama sekali tidak memahami persoalan seperti ini lalu makin hari, negara ini makin kacau," kata Yusril.
"Kita lihat presiden kita sekarang ini, sama sekali tidak mengerti dengan masalah hukum ini," kata mantan Sekretaris Negara itu.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, penegakan hukum di Indonesia harus dimulai dari pemimpinnya, dalam hal ini seorang presiden.
"Memang dalam masalah ini diperlukan komitmen pemimpin negara dalam membangun sebuah negara hukum. Jadi itu dimulai dari kemauan politik dari level presiden sendiri, baru yang lain-lain," kata Yusril di Jakarta, Senin (30/7).
Presiden, kata Yusril, yang harus pertama kali dilakukan adalah membenahi norma-norma hukum. Menurut dia, perangkat hukum sudah ada tapi tidak terumuskan dengan sistematik dan konsepsionla sehingga norma-norma hukum itu tidak mengalir sebagaimana yang ada di UUD 1945.
"Sekarang ini, norma-norma hukum kita itu, secara horisontal tidak sinkron dan secara vertikal bertabrakan satu sama lainnya. Akibatnya terjadi kekacauan dimana-mana. Jangan dilupakan, kekacauan dari sistem hukum itu akan dampak luas dan ke semua bidang, ekonomi, sosial dan politik. Itu yang terjadi sekarang ini," katanya.
Sebagai contoh, sekarang bisakah orang yang tidak mengerti soal hukum sama sekali, tidak punya komitmen sama sekali tentang hukum disuruh mengurus masalah negara hukum. Orang yang tidak mengerti soto, disuruh mengurus dan mengelola warung soto. Ada yang tidak tepat dan pas, tidak mesti bahwa pemimpin itu sarjana hukum, tapi paling tidak ada pemahaman soal hukum.
"Kita lihat presiden kita sekarang ini, sama sekali tidak mengerti dengan masalah hukum ini," kata mantan Sekretaris Negara itu.
Ia membandingkan zaman Soeharto dimana Menteri Sekretaris Negara dijabat Moerdiono yang mampu memahami masalah hukum, walaupun Moerdiono tidak memiliki dasar-dasar hukum.
Yusril menyebutkan, contoh yang saling bertabrakan baik secara horizontal maupun vertikal adalah pelaksanaan UU 10 Tahun 2004 dan diubah menjadi UU 12 Tahun 2011 tentang Otonomi Daerah.
Dengan konsep otonomi daerah sekarang ini, dimana ada pembagian kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah, itu ketika dituangkan dalam aturan norma hukum, itu tidak sinkron sama sekali.
"Misalnya masalah pertanahan, itu kewenangan siapa, pusat atau daerah? Ketika masalah pertanahan yang tidak jelas itu, lalu timbul masalah perizinan sehinggaa diatas lahan yang sama muncul beberapa jenis hak dan beberapa jenis perizinan yang satu sama lain bertabrakan yang masing-masing diberikan oleh instansi yang berbeda. Itu yang bersifat horizontal," urai Yusril.
Kemudian Menteri Kehutanan mempunyai kewenangan mengatasi hutan yang diatas lahan tersebut. Menteri ESDM berwenang dengan sumber daya alam yang ada dibawahnya dan pihak perkebunan juga merasa punya wewenang sehingga masing-masing memberikan perizinan.
"Jadi terkesan negara mengadu domba rakyatnya sendiri," tambah Yusril.
Disebutkan juga, misalnya, lahan orang Dayak. Mereka sudah ada secara turun temurun dan lebih tua dari penjajah dan hubungan orang dengan tanah itu bersifat abadi. Tidak tergantung pada negara. Nenek moyang mereka sudah ada jauh sebelum ada Belanda dan negara RI. Yang berlaku di situ adalah hukum adat
"Pemerintah sekarang ini mirip pemerintahan Daendels, kalau tidak bisa buktikan tanah ini milik anda, maka disita negara, kan gila dan negara itu sesuatu yang muncul belakangan. Negara ini kacau balau karena secara horisontal tidak sinkron, secara vertikal hukumnya bertabrakan satu sama lain. Negara semakin kacau dan ditengah-tengah konflik itu dengan mudah dipermainkan, dimanfaatkan oleh yang lain," katanya.
Dari aspek penegakan hukum, sepanjang saya tangani perkara di Kalimantan, pengusaha berlawanan dengan masyarakat tradional dan masyarakat tradisional juga kadang-kadang diperalat oleh pengusaha lain untuk mengganggu pengusaha lain dan aparatur penegak hukum dengan mudah menjadikan orang tersangka tapi dibelakang itu mereka menjadi orang suruhan dari kelompok pengusaha yang ingin mencaplok lahan.
"Saya anggap ini masalah serius dan sayangnya presiden kita tidak mengerti soal ini dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah. Advice atau saranpun dikasih oleh orang-orang yang tidak kompeten, mulai dari Denny Indrayana, Amir Syamsuddin, ngawurkan semua dan apalagi ditempatkan Mensesneg yang sama sekali tidak memahami persoalan seperti ini lalu makin hari, negara ini makin kacau," kata Yusril.
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar