Minggu, 27 Oktober 2013

[Media_Nusantara] #MelawanLupa : Kisah di Balik Pembelian Saham Garuda Indonesia oleh Nazaruddin

 

#MelawanLupa : Kisah di Balik Pembelian Saham Garuda Indonesia oleh Nazaruddin

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Muhammad Nazaruddin hari ini, Jumat (27/9). Pemeriksaan kali ini untuk melengkapi berkas perkara dalam penyidikan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pembelian saham PT Garuda Indonesia.

"Dia (Muhammad Nazaruddin) diperiksa sebagai tersangka," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha. Ini adalah kali kelima Nazaruddin diperiksa untuk perkara tersebut.

Dalam persidangan kasus suap Nazaruddin untuk proyek Wisma Atlet SEA Games Jakabaring, mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group Yulianis memang sempat memberi kesaksian soal pembelian saham perdana Garuda Indonesia. Menurut Yulianis di persidangan waktu itu, Nazaruddin membeli saham perdana Garuda Indonesia senilai total Rp 300,8 miliar.

Menurut sumber kami, memang benar Nazaruddin membeli saham perdana Garuda Indonesia dengan nilai total Rp 300 miliar lebih itu. "Saham itu dibeli lewat Mandiri Sekuritas dengan uang tunai, Rp 300 miliar sekian itu semua tunai," kata sang Sumber.

Kisahnya, tambah sumber kami, berawal dari pertemuan Nazaruddin dengan Direktur Utama Mandiri Sekuritas, Harry M Supoyo, pada suatu hari di tahun 2011. "Dari pertemuan itu, entah bagaimana, ada pembicaraan soal rencananya penjualan saham perdana Garuda Indonesia," kata sumber itu.

Awalnya, Nazaruddin tidak tertarik, karena rencananya ia ingin membeli saham Bank Mandiri, yang juga akan melakukan penjualan saham perdana. Tapi, kemudian datang Munadi Herlambang, Wakil Sekretaris Bidang Pemuda dan Olahraga DPP Partai Demokrat. Munadi membujuk Nazaruddin agar membeli saham Garuda Indonesia. "Kata Munadi, akan ada keuntungan 25 persen jika nanti saham itu dijual kembali dan itu tidak akan memakan waktu lama. Munadi sendiri meminta bagian 5 persen dari keuntungan tersebut," kata sumber kami.

Maka, Nazaruddin pun tertarik dan membeli saham perdana Garuda. Ia membeli saham ini dengan menggunakan lima anak perusahaan Permai Group: PT Permai Raya Wisata (dengan Direktur Utama Octarina Furi) membeli 30 juta lembar saham senilai Rp 222,7 miliar; PT Cakra Waja Abadi (Direktur Utama Christina Donipasarong) membeli 50 juta lembar saham senilai Rp 37,5 miliar; PT Exartech Technology Utama (Direktur Utama Gerhana Sianipar) sebanyak 150 juta lembar saham senilai Rp 124,1 miliar; PT Pacific Putra Metropolitan (Direktur Utama Clara Maureen) sebanyak 100 juta lembar saham senilai Rp 75 miliar, dan; PT Darmakusuma (Direktur Utama Fajri) sebanyak Rp 55 juta lembar saham senilai Rp 41 miliar rupiah.

Menurut Yulianis dalam kesaksian di persidangan Nazaruddin, uang untuk pembelian saham itu merupakan sebagian keuntungan yang didapat dari proyek-proyek yang dikerjakan perusahaan Nazaruddin.

Perusahahaan Nazaruddin, menurut sumber kami, memang beranak pinak dalam waktu yang tak terlampau lama. "Nazaruddin itu baru masuk ke Jakarta tahun 2006 dan ketika itu mobilnya hanya minibus. Dia kemudian diajak masuk ke Partai Demokrat oleh Bertha Herawati, seorang notaris yang sudah masuk Partai Demokrat terlebih dulu dan menjadi pengurus," ungkap sang Sumber.

Di Partai Demokrat, Nazaruddin akhirnya bisa dekat dengan Anas Urbaningrum karena sama-sama baru masuk. "Selain itu, Nazaruddin juga pernah bilang ke saya, ia memang sengaja mendekatai Anas karena ibunya berpesan agar belajar politik sama Anas Urbaningrum. Ibu Nazaruddin itu mengagumi Anas, sebagai orang muda yang hebat," papar sumber kami.

Tak lama masuk Partai Demokrat, Nazaruddin sudah dipercaya menjadi pejabat sementara bendahara umum. "Dalam waktu yang tidak begitu lama setelah memegang jabatan itu, perusahaannya yang biasanya hanya menangani kurang dari sepuluh proyek per tahun kontan kebanjiran proyek. Nazaruddin meraup untung besar. Apalagi, ia sebagai pejabat sementara bendahara umum partai yang sedang berkuasa kemudian juga mendapat setoran dari para pimpinan BUMN. Perusahaannya pun terus beranak, menjadi 80 perusahaan, dan punya 7 gedung perkantoran di Jakarta. Bahkan, mobil pribadinya saja ada 60," kata sang Sumber.

Kembali ke soal pembelian saham perdana Garuda Indonesia. Rupanya iming-iming keuntungan yang dijanjikan Munadi Herlambang jauh dari kenyataan. "Bahkan, hanya dalam tempo sehari, harga saham itu jatuh 30 persen. Munadi Herlambang bilang, tunggu dulu saja seminggu. Eh, seminggu kemudian malah tambah merosot harganya. Nazaruddin marah besar. Dia mengontak Direktur Utama Mandiri Sekuritas, Harry M Supoyo. Nazaruddin ingin uangnya dikembalikan.

"Harry Supoyo pun menjanjikan akan mencari cara agar Nazaruddin tidak rugi banyak. Ia kemudian memberikan saham Bank Mandiri senilai Rp 50 miliar, tanpa Nazaruddin atau perusahaan mengeluarkan uang seperak pun. Hanya dalam kurang dari tiga minggu, saham Bank Mandiri itu sudah menghasilkan keuntungan Rp 9 miliar. Rencananya, dengan cara seperti itulah uang Nazaruddin yang Rp 300,8 miliar itu dikembalikan. Tapi, rencana itu tak sampai benar-benar terwujud, kasus Nazaruddin sudah muncul ke permukaan dan Nazaruddin kabur ke Singapura.

Di Singapura, Nazaruddin memutar akal agar uangnya yang Rp 300,8 miliar bisa diangkut ke Singapura dengan aman. "Dia pun lalu meminta perusahaan investasi Recapital, milik Sandiaga Uno, untuk mengurusnya," kata sumber kami.

Nazaruddin dan Sandiaga Uno memang sohib. Menurut kabar, perusahaan konstruksi PT Duta Graha Indah sebenarnya milik mereka berdua. Itulah sebabnya, dalam kesaksisan di persidangan pada 10 Agustus 2011, Yulianis yang merupakan wakil direktur di Permai Group milik Nazaruddin mengatakan, Permai Group mendapat 14% dari setiap termin pembayaran yang diterima PT Duta Graha Indah Tbk. Untuk proyek pembangunan Wisma Atlet senilai Rp 191,6 miliar. "Setiap termin dapat 14 persen dan itu ada 4 termin," ujar Yulianis di persidangan.

Rupanya, dari 5 perusahaan Nazaruddin yang digunakan untuk membeli saham Garuda Indonesia, hanya 4 yang akan diurus oleh Recapital. Rencananya, saham-saham itu seolah telah dibeli oleh Thalent Pltd., sebuah perusahaan di Singapura yang sebenarnya milik Nazaruddin juga dan dijalankan oleh Gharet sebagai direktur utama dan Romeo sebagai komisaris. "Itu tadinya perusahaan yang sudah mau bangkrut, lalu dibeli Nazaruddin dengan nilai sekitar Rp 15 miliar. Romeo itu pernah bekerja di Bank Indonesia," kata sumber kami.

Satu perusahaan Nazaruddin yang tidak diurus kepemilikan saham Garuda Indonesia-nya adalah PT Pacific Putra Metropolitan, yang memegang 100 juta lembar saham senilai Rp 75 miliar. "Karena, Direktur Utama PT Pacific Putra Metropolitan, Clara Maureen, sulit diminta tanda tangannya, kabur-kaburan melulu. Akhirnya seorang manajernya yang bernama Julius diangkat sebagai Direktur Utama PT Pacific Putra Metropolitan untuk menggantikan Clara dan diminta mengurus pencairan saham Garuda Indonesia yang atas nama perusahaan itu," kata sumber kami lagi.

Recapital ternyata bisa mengurus masalah saham Garuda Indonesia milik Nazaruddin yang dipecah ke empat perusahaannya dan akan dialihkan ke Thalent Pltd. Di Singapura. "Tapi, kemudian, Recapital meminta bukti transfer dari keempat perusahaan Nazaruddin itu, sebagai bukti bahwa Thalent Pltd. telah membeli saham-saham tersebut. Ya, jelas tidak ada. Karena ini kan sandiwara saja sebenarnya, mana pernah ada transfer uang untuk pembelian itu. Jadinya, saham-saham senilai Rp 225 miliar itu sekarang ada di Recapital. Jadi, yang untung Recapital," ujar sumber kami.

Kesialan Nazaruddin, menurut sang Sumber, tidak sampai di sana. Sahamnya yang atas nama PT Pacific Putra Metropolitan ternyata berhasil dicairkan oleh Julius, tapi uangnya dibawa kabur.

"Tapi, ini sebenarnya kesalahan Nazaruddin. Ia meminta Julius, dari hasil pencairan itu, Rp 5 miliar digunakan untuk operasional kantor dan sisanya diminta ditransfer ke rekening pribadi Liem King Seng," kata sumber kami.

Liem King Seng ini adalah Direktur Utama PT Ampi IT yang juga milik Nazaruddin. "Tadinya, Ampi IT itu milik Liem King Seng lalu dijual ke Nazaruddin, tapi Liem King Seng tetap dipekerjakan sebagai direktur utama," ungkap sumber kami lagi.

Ternyata, oh, ternyata, Julius diduga bekerja sama dengan Liem King Seng untuk membawa kabur uang Nazaruddin, sekitar Rp 70 miliar.

"Sampai sekarang baik Julius dan Liem King Seng beserta seluruh keluarganya tidak bisa dilacak ada di mana," ujar sang Sumber.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar