Haruskah Review Izin Perusahaan Perkebunan Dilakukan di Aceh? - Pertanyaan sebagaimana judul di atas seyogyanya harus dijawab. Bukan saja oleh Pemerintah Aceh yang berperan sebagai fasilitator dalam penyelenggaraan pemerintah, tapi juga oleh kita masyarakat Aceh yang juga menerima dampak dari setiap izin usaha yang diberikan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah jarang berkoordinasi dengan kita ketika mengeluarkan izin sebuah perusahaan.
Review izin secara sederhana dapat diartikan meninjau kembali izin-izin yang pernah diberikan oleh pemerintah. Review izin untuk penataan perizinan bertujuan melihat kembali kesesuaian antara yang tertera didokumen dengan implementasi di lapangan. Baik luasan area, kewajiban-kewajiban perusahaan dijalankan atau tidak, maupun mekanisme pemberian izin itu sendiri. Tidak tertutup kemungkinan, izin-izin yang telah diberikan itu tidak lagi sesuai ketika implementasi dilapangan.
Review izin secara sederhana dapat diartikan meninjau kembali izin-izin yang pernah diberikan oleh pemerintah. Review izin untuk penataan perizinan bertujuan melihat kembali kesesuaian antara yang tertera didokumen dengan implementasi di lapangan. Baik luasan area, kewajiban-kewajiban perusahaan dijalankan atau tidak, maupun mekanisme pemberian izin itu sendiri. Tidak tertutup kemungkinan, izin-izin yang telah diberikan itu tidak lagi sesuai ketika implementasi dilapangan.
Menurut catatan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh belum pernah melakukan review izin, khususnya sektor perkebunan. Padahal selama ini, izin-izin usaha perkebunan terus saja dikeluarkan oleh pemerintah, (www.mataaceh.org). Oleh karenanya, sudah sepatutnya review izin untuk penataan perizinansegera dilakukan oleh pemerintah Aceh. Bukan untuk mencari-cari kesalahan perusahaan, akan tetapi sebagai upaya memperbaiki tata kelola perizinan di Aceh dan juga sebagai tanggungjawab pemerintah atas izin-izin yang telah diterbitkan.
Dampak Expansi Perkebunan Sawit
Perkebunan sawit mempunyai memang mempunyai dampak positif dan negatif. Namun, dalam banyak literatur disebutkan, dampak negatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan positif. Sebagai contoh yang terjadi di Aceh. Aceh Singkil merupakan wilayah yang rawan terjadi banjir secara periodik. Sebelum perkebunan sawit "mengepung", Aceh Singkil hanya mengalami banjir dua kali dalam setahun. Namun, pasca perkebunan sawit mengelilingi wilayah tertinggal ini, setahun bisa empat sampai lima kali terjadi banjir, (www.mongabay.co.id).
Selain itu, di Aceh Tamiang terjadi persoalan lain akibat meluasnya Hak Guna Usaha (HGU) terutama perkebunan sawit. Pemerintah Aceh Tamiang mengalami kesulitan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan dan pengembangan fasilitas publik guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini karena dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang 1.957,02 Km2, 80 persen di antaranya dikuasai pemilik HGU perusahaan, khususnya perusahaan sawit, (www.mataaceh.org).
Persoalan yang dihadapi oleh Aceh Singkil dan Aceh Tamiang bukan tidak mungkin akan dihadapi oleh kabupaten/kota lain di Aceh. Untuk saat ini berdasarkan informasi yang dirilis oleh KPK pada Maret 2015, luas perkebunan di Aceh mencapai 1.195.578 Ha yang terbagi atas perkebunan besar dan perkebunan rakyat yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Luas perkebunan rakyat sebesar 810.093 Ha sedangkan luas perkebunan besar mencapai 385.485 Ha dengan komiditas kelapa sawit, kakao, karet, kopi, lada dan kemiri yang dikelola oleh 127 perusahaan pemegang HGU.
Perkebunan besar tersebut tersebar di beberapa wilayah meliputi Aceh Timur 101.321 Ha, menyusul Nagan Raya 65.455 Ha, Aceh Tamiang 46.371 Ha, Aceh Singkil 45.008 Ha, Aceh Barat 42.322 Ha, Aceh Utara 35.200 Ha, Subulussalam 14.973 Ha, Aceh Barat Daya 12.772 Ha, Aceh Jaya 11.317 Ha, Aceh Selatan 5.201 Ha, Bireuen 4.371 Ha, Pidie Jaya 416 Ha, Aceh Tengah 353 Ha, Pidie 242 Ha, dan Aceh Besar 113 Ha.
Disisi lain, kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan pemegang HGU semakin banyak terjadi. Kasus di Aceh Singkil misalnya, status lahan PT Nafasindo yang diindikasikan mengalami tumpah tindih dengan lahan masyarakat di 22 desa di kabupaten tersebut. Kasus ini sudah berlarut-larut dan baru pada Juni lalu mencapai titik penyelesaian, dimana perusahaan menyerahkan kembali perkebunan seluas 347,4 hektare kepada masyarakat. Di Aceh Tamiang lain lagi, lahan seluas ± 144 Ha yang telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat setempat sejak tahun 1943, kemudian dicaplok perusahaan pada tahun 1983. Masalah ini telah menjadi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan perusahaan hingga ini.
Persoalan yang dihadapi oleh Aceh Singkil dan Aceh Tamiang bukan tidak mungkin akan dihadapi oleh kabupaten/kota lain di Aceh. Untuk saat ini berdasarkan informasi yang dirilis oleh KPK pada Maret 2015, luas perkebunan di Aceh mencapai 1.195.578 Ha yang terbagi atas perkebunan besar dan perkebunan rakyat yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Luas perkebunan rakyat sebesar 810.093 Ha sedangkan luas perkebunan besar mencapai 385.485 Ha dengan komiditas kelapa sawit, kakao, karet, kopi, lada dan kemiri yang dikelola oleh 127 perusahaan pemegang HGU.
Perkebunan besar tersebut tersebar di beberapa wilayah meliputi Aceh Timur 101.321 Ha, menyusul Nagan Raya 65.455 Ha, Aceh Tamiang 46.371 Ha, Aceh Singkil 45.008 Ha, Aceh Barat 42.322 Ha, Aceh Utara 35.200 Ha, Subulussalam 14.973 Ha, Aceh Barat Daya 12.772 Ha, Aceh Jaya 11.317 Ha, Aceh Selatan 5.201 Ha, Bireuen 4.371 Ha, Pidie Jaya 416 Ha, Aceh Tengah 353 Ha, Pidie 242 Ha, dan Aceh Besar 113 Ha.
Disisi lain, kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan pemegang HGU semakin banyak terjadi. Kasus di Aceh Singkil misalnya, status lahan PT Nafasindo yang diindikasikan mengalami tumpah tindih dengan lahan masyarakat di 22 desa di kabupaten tersebut. Kasus ini sudah berlarut-larut dan baru pada Juni lalu mencapai titik penyelesaian, dimana perusahaan menyerahkan kembali perkebunan seluas 347,4 hektare kepada masyarakat. Di Aceh Tamiang lain lagi, lahan seluas ± 144 Ha yang telah dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat setempat sejak tahun 1943, kemudian dicaplok perusahaan pada tahun 1983. Masalah ini telah menjadi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan perusahaan hingga ini.
Perempuan dan Sawit
Beberapa persoalan di atas hanyalah persoalan yang dapat dilihat dengan kasat mata. Namun, jika ditilik lebih spesifik dampak dari expansi sawit, perempuan-lah yang menjadi "tumbal" atas keserakahan segelintir oknum. Perubahan tata kelola sumberdaya alam lokal menjadi perkebunan kelapa sawit telah memberikan beban ganda, dan marjinalisasi sehingga posisi perempuan semakin rentan.
Dari sisi ekonomis, perempuan tidak banyak diuntungkan. Hutan yang semula menjadi lahan bagi mereka untuk mengumpulkan dan mengambil kebutuhan sehari-hari telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit. Mau tidak mau, perempuan juga harus ikut menjadi bagian dari perusahaan yang bekerja sebagai buruh harian. Tidak ada kontrak yang jelas dan juga jaminan kesehatan yang diberikan oleh pihak perusahaan. Bukan itu saja, perempuan yang bekerja sebagai buruh bertugas untuk menyiangi sawit yang terpapar pestisida tanpa menggunakan proteksi.
Selain itu, tentunya kita masih ingat dengan 12 warga Aceh Tamiang yang divonis hukuman penjara antara 12 bulan sampai 22 bulan oleh Mejalis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Simpang. Kasus ini bermula karena sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit, PT Rapala. Dibalik kasus tersebut, lagi-lagi perempuan yang menjadi korban. Selain mereka harus menjadi pengganti tulang punggung keluarga untuk sementara waktu, mereka juga harus siap menjadi ibu rumah tangga.
Oleh karenanya, kehadiran perusahaan pemegang izin usaha perkebunan khususnya sawit bukan malah menjadi daya ungkit terhadap perekomian masyarakat, tapi justru menjadi daya dukung kerusakan lingkungan dan juga tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dari sisi ekonomis, perempuan tidak banyak diuntungkan. Hutan yang semula menjadi lahan bagi mereka untuk mengumpulkan dan mengambil kebutuhan sehari-hari telah berubah menjadi lahan perkebunan sawit. Mau tidak mau, perempuan juga harus ikut menjadi bagian dari perusahaan yang bekerja sebagai buruh harian. Tidak ada kontrak yang jelas dan juga jaminan kesehatan yang diberikan oleh pihak perusahaan. Bukan itu saja, perempuan yang bekerja sebagai buruh bertugas untuk menyiangi sawit yang terpapar pestisida tanpa menggunakan proteksi.
Selain itu, tentunya kita masih ingat dengan 12 warga Aceh Tamiang yang divonis hukuman penjara antara 12 bulan sampai 22 bulan oleh Mejalis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Simpang. Kasus ini bermula karena sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit, PT Rapala. Dibalik kasus tersebut, lagi-lagi perempuan yang menjadi korban. Selain mereka harus menjadi pengganti tulang punggung keluarga untuk sementara waktu, mereka juga harus siap menjadi ibu rumah tangga.
Oleh karenanya, kehadiran perusahaan pemegang izin usaha perkebunan khususnya sawit bukan malah menjadi daya ungkit terhadap perekomian masyarakat, tapi justru menjadi daya dukung kerusakan lingkungan dan juga tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Review Izin untuk Penataan Perizinan
Selain beberapa persoalan di atas, pemberian izin usaha untuk perusahaan pemegang HGU diindikasikan terjadi pelanggaran. Baik itu pelanggaran kewenangan maupun pelanggaran prosedural tanpa memedulikan prinsip hukum pelestarian lingkungan, aspek sosial dan status hukum lahan yang belum clear and clean dengan berbagai pihak, terutama masyarakat setempat. Oleh karena itu, review izin untuk penataan perizinan sudah sepatutnya dilaksanakan agar tercipta perbaikan tata kelola perizinan di Aceh.
Pelaksanaan review ini membutuhkan adanya pemahaman utuh terhadap hukum perizinan. Hal ini karena hukum kita selalu mengalami perubahan, sehingga dibutuhkan ketrampilan untuk memhaminya. Review izin selain bertujuan untuk penataan perizinan juga bertujuan untuk mengumpulkan fakta hukum mengenai izin-izin yang telah terbit. Hasil temuan review izin ini nantinya dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Aceh sebagai langkah awal untuk perbaikan kebijakan-kebijakan.
Dalam melakukan review izin untuk penataan perizinan, Pemerintah Aceh bisa saja berkolaborasi dengan Civil Society Organization (CSO) semisal Masyarakat Transpransi Aceh(MaTA) yang telah duluan menggagas dan mendorong pemerintah untuk melakukan hal ini dan juga para akademisi. Dengan keterlibatan banyak pihak, review izin yang dilakukan akan memberikan hasil yang lebih objektif dan akuntabel.
Pelaksanaan review ini membutuhkan adanya pemahaman utuh terhadap hukum perizinan. Hal ini karena hukum kita selalu mengalami perubahan, sehingga dibutuhkan ketrampilan untuk memhaminya. Review izin selain bertujuan untuk penataan perizinan juga bertujuan untuk mengumpulkan fakta hukum mengenai izin-izin yang telah terbit. Hasil temuan review izin ini nantinya dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah Aceh sebagai langkah awal untuk perbaikan kebijakan-kebijakan.
Dalam melakukan review izin untuk penataan perizinan, Pemerintah Aceh bisa saja berkolaborasi dengan Civil Society Organization (CSO) semisal Masyarakat Transpransi Aceh(MaTA) yang telah duluan menggagas dan mendorong pemerintah untuk melakukan hal ini dan juga para akademisi. Dengan keterlibatan banyak pihak, review izin yang dilakukan akan memberikan hasil yang lebih objektif dan akuntabel.
Review izin sebagaimana dorongan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) kepada Pemerintah Aceh sejalan dengan langkah Presiden Jokowi untuk melakukan moratorium izin sawit dan mengevaluasi izin-izin yang telah lalu. Selain itu, jika review izin ini dilakukan akan menjadi catatan sejarah baru dan juga warisan dari pemerintahan sekarang yang akan berakhir dalam beberapa bulan mendatang. Bukan itu saja, kebijakan untuk melakukan review izin akan menjadi bukti nyata bagi dunia Internasional akan komitmen Aceh dalam menjaga lingkungan dari laju deforestasi dan degradasi.
Inisiatif Masyarakat Transparansi Aceh
Sesuai dengan pengantar yang disajikan di www.blog.mataaceh.org, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyadari kerja-kerja advokasi tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja. Mendorong Pemerintah Aceh melakukan review izin merupakan bagian dari kerja advokasi. Inisiatif MaTA mengajak para blogger untuk ikut terlibat dalam advokasi kebijakan merupakan inisiatif yang baru. Dan ini sebenarnya bisa menjadi tantangan bagi para blogger agar juga ikut menyuarakan perbaikan tatakelola pemerintahan.
Kehadiaran para blogger dalam dunia advokasi akan memberikan warna tersendiri. Diakui ataupun tidak, blogger mempunyai kekuatan dan mampu melakukan kampanye terhadap suatu isu secara masif. Kalau kekuatan ini dimanfaatkan untuk perbaikan tatakelola pemerintahan, bisa dipastikan secara perlahan akan terwujud good governance and clean governance di Aceh, termasuk dalam tata kelola perizinan di Aceh. Haruskah Review Izin Perusahaan Perkebunan Dilakukan di Aceh?
__._,_.___
Posted by: Baihaqi <boy_baroza@yahoo.co.id>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Have you tried the highest rated email app?
With 4.5 stars in iTunes, the Yahoo Mail app is the highest rated email app on the market. What are you waiting for? Now you can access all your inboxes (Gmail, Outlook, AOL and more) in one place. Never delete an email again with 1000GB of free cloud storage.
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar