Jejak Malapraktik IMF di Indonesia
Sigit Wibowo | Senin, 16 Juli 2012 - 16:06:41 WIB(SH/Asep Safaat) Indonesia telah menjadi korban malapraktik IMF yang ditandai peningkatan utang dalam jumlah besar.
JAKARTA – Rencana pemerintah Indonesia memberikan bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar US$ 1 miliar (Rp 9,2 triliun) dikritik secara tajam oleh berbagai kalangan di Indonesia. Mengingat lebih dari 50 persen penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah US$ 2 (Rp 18.400) per hari.
Sementara itu, baru saja Unicef melaporkan setiap tahun ada 150.000 anak di bawah lima tahun yang meninggal akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Setiap tahun 10.000 perempuan Indonesia meninggal akibat komplikasi penyakti pascapersalinan.
Namun, dengan "gagah-gagahan" pemerintah ingin berkontribusi membantu negara-negara Uni Eropa (UE) yang sedang menghadapi krisis ekonomi.
Dana tersebut akan digunakan sebagai dana cadangan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi, mengingat sejumlah negara Uni Eropa sedang menghadapi krisis ekonomi yang sangat akut. Pemerintah Susilo Bambang Yudhyono tampaknya ingin menunjukkan solidaritas Indonesia karena merasa menjadi salah satu negara anggota G-20, sehingga harus terlibat dalam iuran bersama.
Berbeda dengan Indonesia, negara-negara kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menyumbang dana dengan total US$ 72 miliar karena memiliki tujuan melakukan reformasi di IMF. Sementara itu, Indonesia sama sekali tak memiliki agenda jelas dan hanya sekadar memenuhi keinginan negara-negara maju seperti AS dan Eropa Barat.
Menurut Koordinator Koalisi Antiutang (KAU) Dani Setiawan, komitmen pemerintah untuk menambah modal kepada IMF harus dibatalkan. Ini karena dominasi negara maju dalam pengambilan keputusan di IMF menunjukkan reformasi lembaga keuangan internasional yang didorong G-20 adalah palsu dan tidak menghasilkan perubahan mendasar.
Tak hanya itu, sambung Dani Setiawan, penolakan itu juga didasari karena tidak ada perubahan dalam persyaratan utang IMF. Deregulasi, privatisasi, dan pengetatan anggaran sosial masih menjadi resep generik IMF kepada negara peminjam.
"Utang IMF untuk mengatasi krisis hanya akan menguntungkan bank-bank besar penyebab utama krisis di Amerika dan Eropa, sedangkan rakyat di negara penerima utang akan menanggung beban krisis lewat pemotongan anggaran sosial dan pembayaran utang," ujarnya.
Menurutnya, membantu menambah modal ke IMF hanya akan melegitimasi kebijakan sesat IMF. Ini karena resep IMF dalam menyelesaikan krisis ekonomi di Indonesia terbukti justru semakin memperpuruk Indonesia dengan utang yang menggunung. Itu bisa dicerna melalui bank-bank yang diselamatkan, namun rakyat yang menanggung beban pembayaran utang sampai sekarang.
"Semua kebijakan masa lalu yang didorong IMF di Indonesia harus dicabut. Lakukan audit komprehensif utang pemerintah sebagai dasar melakukan penghapusan utang," ia menyarankan. Menteri Keuangan, tambah Dani, seharusnya berkaca pada kondisi utang Indonesia sebelum memutuskan memberi pinjaman kepada IMF. Indonesia masih menjadi negara pengutang dengan beban pembayaran utang yang memberatkan anggaran negara.
Jumlah pembayaran utang pada 2011 mencapai Rp 240.517 triliun, bahkan dalam pagu APBN-P 2012, jumlah pembayaran utang pemerintah sudah mencapai Rp 322.709 triliun. Bila dibandingkan porsi anggaran untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan pertanian, jumlah pembayaran utang telah menghabiskan porsi anggaran negara dalam jumlah yang sangat signifikan.
Rekaman Buruk
Keputusan memberikan pinjaman kepada IMF merupakan keputusan yang tidak tepat karena memiliki rekam jejak yang amat buruk. IMF merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap krisis moneter 1997–1998 yang membuat Indonesia kian terpuruk karena menumpuk utang, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi secara ugal-ugalan yang membuat masyarakat semakin hidup susah.
Dani Setiawan menyatakan, hubungan Indonesia dengan IMF di masa lalu menunjukkan lembaga tersebut bukan sebagai "dewa penolong", namun sebagai "sumber malapetaka" bagi rakyat Indonesia.
Saat terjadi krisis moneter 1997–1998, rezim Soeharto dan para ekonom yang dikenal sebagai "mafia Berkeley" mengundang IMF dalam rangka pemulihan krisis ekonomi. Namun, Indonesia justru terperosok ke dalam jurang yang lebih dalam. Krisis tersebut merupakan krisis ekonomi terburuk yang dialami Indonesia sejak Kemerdekaan RI.
Letter of Intent dari IMF telah merugikan Indonesia. Ini karena untuk mendapatkan pinjaman tersebut pemerintah Indonesia harus membuka sektor-sektor yang sebelumnya terlarang untuk investor asing.
IMF juga memberikan resep yang keliru terkait cara mengatasi krisis ekonomi 1997–1998, yakni menaikkan harga BBM dan meminta pemerintah melakukan penyelamatan perbankan dan menyuntikkan obligasi rekapitalisasi. Total dana yang diinjeksi pemerintah mencapai Rp 650 triliun.
Pemerintah hanya mampu membayar bunga hingga hari ini dan ketika utang tersebut jatuh tempo pada 2030-an, Indonesia diperkirakan langsung bangkrut jika tidak melakukan penjadwalan utang.
Sementara itu, kenaikan harga BBM 100 persen pada waktu itu menyebabkan daya beli masyarakat merosot dan angka kemiskinan meningkat. Hal itulah yang ikut memicu terjadinya kerusuhan, karena orang-orang kehilangan pekerjaan akibat krisis dan kemiskinan meningkat secara besar-besaran.
Malapraktik IMF
Indonesia telah menjadi korban malapraktik IMF yang ditandai peningkatan utang dalam jumlah besar (utang luar negeri maupun penerbitan surat utang negara), pengucuran BLBI, pemotongan subsidi, liberalisasi sektor keuangan/perdagangan, dan privatisasi sektor-sektor yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan.
Bahkan, IMF dituding sebagai pemicu terjadinya kerusuhan 1998 atau yang dikenal sebagai IMF riot dengan berbagai kebijakan ekonomi yang didiktekan lembaga tersebut.
Selepas Reformasi, kehidupan mayoritas rakyat Indonesia tidak lebih baik dibandingkan zaman Soeharto, karena kebijakan ekonomi pasca-Reformasi lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal dan memindahkan tanggung jawab negara kepada sektor swasta.
Padahal, di dalam UUD '45, sektor strategis dan vital seharusnya dikuasai negara dan bukan diserahkan kepada swasta. Praktik-praktik ekonomi ini sungguh melanggar Pasal 33 UUD '45, sehingga menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin bertambah miskin.
Akar dari permasalahan sesungguhnya yakni ketika Soeharto menandatangani nota kesepakatan atau letter of intent (LoI) dari IMF 1998. Hal ini bisa diartikan penyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia yang masih tersisa kepada korporasi-korporasi asing atau perusahaan multinasional.
Apa yang dilakukan Soeharto pada waktu itu bertentangan 180 derajat dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di era Soekarno yang ingin mewujudkan kemerdekaan tidak saja dari aspek politik, namun juga dari segi ekonomi. IMF memang merupakan infrastruktur para pemilik modal atau perusahaan multinasional untuk mengikis peran negara di berbagai sektor kehidupan. Perusahaan-perusahaan multinasional inilah yang amat dominan dan memengaruhi resep-resep IMF terhadap negara-negara yang mengalami krisis.
Soekarno sejak lama memperingatkan bangsa Indonesia agar berhati-hati terhadap bahaya imperialisme dan neo-kolonialismenya yang termanifestasi dalam organisasi internasional yang bernama IMF.
http://www.shnews.co/detile-4799-jejak-malapraktik-imf-di-indonesia.html
Mengapa Pemerintah Membela IMF?
Akan semakin memiskinkan bangsa sendiri.
Negeri ini sangat produktif memproduksi ironi. Ironi terbaru adalah soal kesiapan pemerintah RI untuk memberi pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Memang pada 12 Oktober 2006, Bank Indonesia yang mewakili pemerintah telah melunasi semua utangnya ke IMF, yang mencapai US$ 3.181.742. 918 (baca: tiga miliar seratus delapan puluh satu juta, tujuh ratus empat puluh dua ribu, sembilan ratus delapan belas dolar AS saja). Tapi ironisnya, utang RI malah membengkak.
Sampai Mei 2012, utang luar dan dalam negeri Indonesia mencapai Rp 1.960 triliun. Kita berutang kepada enam kreditor utama: Jepang, Belanda, Jerman, Prancis, AS, dan Australia. Indonesia juga berutang pada Bank Dunia dan ADB dengan total outstanding (stok) utang Rp 96,41 triliun dan Rp 112,19 triliun.
Mengingat utang itu bukan dari nenek sendiri, jelas beban cicilan plus bunganya besar sekali. Pada 2010, realisasi pembayaran cicilan dan pokok utang di APBN mencapai Rp 215.546 triliun.
Ini setara 20,6 persen dari total realisasi belanja negara 2010 yang berjumlah Rp 1.042,12 triliun. Angkanya meningkat lagi menjadi Rp 240.517 triliun pada 2011, bahkan dalam pagu APBN-P 2012 mencapai Rp 322.709 triliun (DJPU, Mei 2012).
Bila utang kita sendiri tambah membengkak sebesar gunung, pantaskah pemerintah RI justru memberi pinjaman pada IMF?
Sesuai Aturan IMF
Pemerintah, sebagaimana diungkapkan Menkeu Agus Martowardojo, menilai Indonesia memang pantas memberi bantuan berupa pinjaman ke IMF. Pemerintah RI akan meminjamkan US$ 1 miliar ke IMF, dananya diambilkan dari cadangan devisa di Bank Indonesia, yang kini berjumlah US$ 106,5 miliar.
Jelas hal itu membuat senang Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde yang berkunjung ke negri ini dari 8-10 Juli lalu.
Bahkan, Menko Perekonomian Hatta Rajasa terkesan bangga dan menilai meminjamkan uang ke IMF wajar karena ini menjadi bukti perekonomian kita makin membaik. Langkah itu dianggap mencerminkan stabilitas keuangan dan bukti Indonesia mampu membantu lembaga keuangan dunia itu.
Dari sisi aturan, meminjamkan uang ke IMF merupakan ketentuan setiap anggota G-20 seperti Indonesia. Seperti diketahui, pada KTT G-20 di Los Cabos, Meksiko, Juni lalu, IMF meminta setiap anggota G-20 memberi bantuan dalam bentuk pinjaman atau sumbangan guna mengantisipasi dan meredam dampak krisis global, khususnya krisis utang di Eropa.
Apalagi IMF mengingatkan akan ada konsekuensi bagi anggota G-20 bila enggan membantu, yakni dampak krisis utang di Eropa akan memukul ekonomi banyak negara, termasuk menghambat ekspor negara-negara anggota G-20.
Indonesia agaknya ingin seperti China yang sudah siap mengucurkan pinjaman sebesar US$ 10,43 miliar, dari total kebutuhan IMF yang mencapai US$ 430 miliar.
Meminjam ke Negara Miskin
Kalau pemerintah menyatakan Indonesia pantas membantu IMF, namun kita patut bersikap kritis apakah bantuan ke IMF itu memang pantas dan wajar?
Ataukah itu sekadar upaya pencitraan, seolah-olah pemerintah RI berhasil menorehkan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di tengah dampak krisis utang di Eropa yang dibuktikan dengan memberi pinjaman ke IMF?
Pantaskah negara yang PDB-nya lebih rendah membantu yang PDB-nya lebih tinggi, meski mereka sedang dilanda krisis? Bayangkan pendapatan per kapita Indonesia masih US$ 3.508, sungguh tak sebanding dengan Yunani (US$ 24.197), Siprus (US$ 28.000), Italia (US$ 31.870), Spanyol (US$ 30.500), Portugal (US$ 22.413), dan Irlandia (US$ 37.700).
Seharusnya negara-negara Eropa bisa lebih berhemat lagi dan menurunkan standar hidupnya, bukannya meminta bantuan pinjaman dari negara yang lebih miskin.
115,2 Juta Orang Miskin
Jadi, kalau melihat potret kemiskinan kita, pemberian pinjaman ke IMF itu jelas sangat menusuk nurani. Itu kalau kita memang masih punya hati nurani. Ingat, pertumbuhan makro ekonomi, yang digembar-gemborkan tidak banyak menyentuh kaum miskin.
Apalagi dengan sistem ekonomi neoliberal, semua pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan para elite dan pelaku ekonomi yang jeli membaca celah pasar. Alias "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin".
Menurut data Badan Pusat Statistik, pada Maret 2012 masih tercatat 29,13 juta jiwa (11,96 persen dari total penduduk) orang miskin. Bila mengikuti kriteria Bank Dunia, yakni US$2 kapita/hari, jumlah orang miskin di Indonesia langsung melonjak menjadi 115,52 juta orang (48 persen). Bandingkan jumlah penduduk miskin di Eropa yang lebih sedikit.
Menurut Eurostat (2011), bila memakai kriteria Bank Dunia US$ 2/hari/kapita, pada 2011 jumlah penduduk miskin di Eropa hanya sekitar 2 persen dari 731 juta populasi, yaitu sekitar 15 juta orang. Jadi, pantaskah kita berbangga membantu yang miskin di seberang lautan, sementara di rumah sendiri, jutaan yang miskin sangat perlu dibantu?
Akibat kemiskinan kita tentu sudah bisa menebak. Banyak anak miskin tak mampu melanjutkan sekolah. Berobat ke dokter atau ke rumah sakit juga kian mahal dan tak terjangkau bagi kaum miskin.
Sebagian orang miskin kian tergoda bunuh diri akibat beratnya beban hidup. Coba, tanyakan kepada mereka semua, apakah kemajuan dan pertumbuhan ekonomi makro kita sungguh menyentuh kehidupan mereka?
Jangan lupa 29,13 juta jiwa warga miskin ini bukanlah angka mati, mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa, pribadi-pribadi manusia yang martabatnya harus dihormati, bukan diinjak-injak. Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, seharusnya tidak sampai mengalami kondisi tidak sejahtera yang begitu mencekik.
Jadi, silakan membantu IMF, tapi kalau pemerintah sudah berhasil mengentaskan orang miskin itu. Pinjami mereka modal usaha, karena kalau mau meminjam di bank mereka tidak dipercaya.
Atau, bereskan dulu korban lumpur Lapindo, yang masih belum mendapat ganti rugi. Pulangkan dulu jutaan buruh migran, yang sebagian dari mereka menjadi budak di negeri orang.
Sejahterakan dulu orang-orang Papua, yang kian ternista di kampung halaman sendiri. Beri makanan bergizi pada ribuan anak korban gizi buruk. Pokoknya jangan tinggalkan mereka yang lemah dan tak berdaya di tengah kian sengitnya persaingan hidup!
Wahai para pemimpin Indonesia, sejarah akan mencatat Anda semua tak lebih sebagai pecundang, karena memihak lembaga keuangan dunia seperti IMF, sementara abai pada nasib warga miskin di negeri sendiri.
*Penulis adalah praktisi perbankan, tinggal di Balikpapan.
Pinjaman ke IMF Sekadar Pencitraan
Selama ini, kekurangan APBN selalu ditambal dengan berutang ke luar negeri.
JAKARTA - Rencana pemerintah memberikan pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF) dengan menggunakan cadangan devisa Rp 1 miliar terus menuai penolakan.
Dewan Perwakilan Rakyat menuntut pemerintah agar memprioritaskan penyelesaian kebutuhan dalam negeri sebelum memberikan pinjaman. Sekretaris Fraksi Partai Hanura DPR Saleh Husein menilai, rencana pemerintah memberikan pinjaman kepada IMF lewat pembelian surat berharga dengan menggunakan cadangan devisa negara tidak lebih dari sekadar untuk mencari pencitraan di luar negeri. Saleh mengatakan, keputusan pemerintah memberikan pinjaman kepada IMF tidak masuk akal ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih membutuhkan banyak dana untuk daerah dan kementerian atau lembaga. "Kita sendiri saja masih berutang untuk memenuhi kebutuhan APBN," kata Saleh saat dihubungi di Jakarta, Rabu (11/7). Dalam postur Rancangan APBN 2013, kata Saleh, pemerintah masih mencantumkan kebijakan melakukan pinjaman dari luar negeri untuk memenuhi kekurangan dalam pemenuhan anggaran negara. Itu artinya, kata dia, pemerintah masih membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan APBN."Kecuali kebutuhan di daerah sudah terpenuhi baru kita berpikir untuk memberikan pinjaman ke luar negeri. Bukan kita tidak toleransi atau ingin membantu lembaga dunia atau negara lain, tapi kita harus memikirkan dahulu kepentingan nasional," tuturnya.
Butuh Penjelasan
Hal senada disampaikan anggota Fraksi Partai Gerindra DPR Soepriyatno. Selama ini, kata dia, kekurangan APBN selalu ditambal dengan utang, baik dari dalam maupun luar negeri. Setiap tahun, Soepriyatno melanjutkan, Indonesia harus membayarkan utang lebih dari Rp 170 triliun."Masak kita sudah berutang lalu uangnya mau kita utangkan lagi. Maksud pemerintah apa?" kata Soepriyatno. Ia mengatakan, DPR akan menyetujui pemerintah untuk memberikan pinjaman kepada luar negeri jika keuangan negara dalam kondisi surplus. Soepriyatno mengatakan, pemerintah tidak bisa langsung menyatakan persetujuannya akan memberikan pinjaman kepada IMF tanpa adanya penjelasan atau meminta persetujuan kepada DPR. "Ini keuangan negara tidak bisa ujug-ujug kasih pinjam," ujarnya. Oleh karena itu, kata Soepriyatno, pemerintah harus memberikan penjelasan kepada DPR mengenai alasan dan urgensi Indonesia harus ikut terlibat memberikan pinjaman kepada IMF. "Apa keuntungannya bagi Indonesia? Dana pinjaman yang digunakan pemerintah adalah uang rakyat," ia menjelaskan.
Soepriyatno mengatakan, pemerintah seharusnya merumuskan strategi keuangan negara agar APBN tidak selalu mengalami kekurangan yang cukup besar setiap tahun. Sekali pun duit pinjaman menggunakan cadangan devisa, kata dia, bukan berarti keuangan negara, misalnya, untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan tidak akan terganggu.
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar