Sisi Gelap Politik Uang dalam Pembakaran Hutan
Mencari akar permasalahan pembakaran hutan tidak hanya berkutat pada amburadulnya perundang-undangan sebagai payung hukum dalam eksplorasi hutan dan lahan. Namun, ada yang sudah menyentuh tataran politik uang.
Para pelaku kejahatan tersebut menggurita sebagai mafia yang tidak hanya melibatkan antek lokal, tetapi juga sudah menyentuh tataran elite dan para pemain global. Gurihnya lahan gambut membuat persekongkolan itu abai atas kesengsaraan umat manusia dan punahnya ekosistem.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari Diskusi Kelompok Terfokus bertema Solusi titik api, merumuskan penyelesaian akar permasalahan penyebab terjadinya kebakaran hutan yang digelar oleh Media Riset Center (MRC) di gedung Media Group, Kedoya, Jakbar, Selasa (3/11).
''Salah satu akar masalah dalam pembakaran hutan ini ialah adanya mafia yang selama ini melakukan kegiatan ilegal, baik dalam konteks perambahan hutan dalam kawasan hutan berizin maupun yang masih open access. Merekalah yang selama ini memprovokasi kemudian membangun jaringan yang melibatkan petani adat untuk membakar hutan,'' ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Purwadi Suprihanto.
Banyak pihak menghisap keuntungan atas pembakaran hutan ini karena akan meningkatkan nilai lahan dari Rp8.650.000 menjadi Rp11.150.000 per hektare. Jika sudah ditanami bibit sawit nilai jualnya akan menggelembung menjadi Rp40 juta.
''Lewat social network analysis, yaitu between-ness centrality, elite lokal itu merupakan orang-orang terpenting yang menghubungkan para aktor pembakaran,'' ujar peneliti CIFOR, Profesor Herry Purnomo.
''Siapakah elite lokal itu,'' tanya Annas Radin Syarief dalam nada tidak sabar.
''Bisa siapa saja, dari oknum-oknum pegawai pemerintahan di tingkat kelurahan hingga provinsi, para peneliti, tentara, polisi, tokoh masyarakat yang semuanya tergerombol dalam jaringan organized crime,'' ujar Herry Purnomo. Bahkan lanjut guru besar IPB itu, elite ini bisa memengaruhi proses pengambilan keputusan di pemerintahan.
Praktik politik uang dalam pembakaran hutan juga tidak bisa dilepaskan keinginan elite untuk ikut pilkada. Jumlah pilkada di Sumatra dan Kalimantan selama 15 tahun terakhir berpuncak pada 2005, 2010, dan 2015, sedangkan lima puncak api selama kurun waktu itu terjadi pada 2004, 2006, 2009, 2014 dan 2015. Kecuali 2006, puncak titik panas bertepatan dengan jelang terjadinya pilkada dan pemilu yang umumnya terjadi setahun setelah hajatan demokrasi itu berlangsung.
Dalam konteks itulah, peneliti LIPI Prof Tukirin Partomihardjo menengarai adanya politik lahan dalam pilkada. ''Para politikus busuk itu menggunakan lahan dan hutan sebagai cara untuk menarik pemberi suara dan modal. Biaya politik pilkada mengakibatkan peningkatan pemberian izin usaha perkebunan dan pertanian tanpa melalui proses pengajuan yang benar. Salah satu kasus terkait dengan hal ini ialah suap kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Boul, Sulawesi Tengah, sebesar Rp3 miliar. Perkara ini sudah diputus oleh pengadilan dan para terpidananya sedang dan sudah menjalani hukuman.
Perilaku korup para pejabat pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota itu mendorong Prof Bambang Hero Saharjo dari IPB untuk bersuara keras. ''Tingkat kecerdasan yang mereka miliki cukup memadai untuk mengetahui bahwa tindakannya itu akan berujung pada bencana besar.'' Tidak sedikit usaha perkebunan itu sudah dilaksanakan dengan hanya menggunakan izin lokasi atau izin usaha perkebunan yang diberikan dalam kawasan hutan lindung, hutan produktif, maupun konservasi. ''Politik uang membutakan banyak orang,'' keluh Chair for Southeast Asia Wildland Fire Network-UNISDR itu.
Seluruh gerundelan tentang politik uang di tingkat elite lokal itu berujung pada pernyataan Gubernur Sumut yang mengakui adanya keterlibatan aparat dalam praktik itu. ''Terdapat oknum yang sengaja membakar hutan dan lahan untuk kepentingannya, mungkin ada perusahaan yang mengontrakkannya kepada pihak ketiga. Nah, pihak ketiga inilah yang bermain,'' yang ditimpali Prof Tjut Sugandawaty Djohan, ''Ada aktor besar yang menggerakkan dan melindungi mafia pembakaran hutan ini. Maka saya mohon kepada Pak Gubernur untuk cepat bertindak,'' yang dibalas dengan acungan jempol Alex Noerdin. Bagian diskusi ini ditutup oleh Purwadi Suprihanto, ''Kami sangat berharap penegakan hukum terhadap mafia pembakar hutan ini, sebab jika tidak, kami-kami pelaku industrilah yang selalu menjadi sasaran tembak.
''Peneliti Greenet, Transtoto, melihat kebakaran besar sepanjang tiga bulan terakhir tidak lepas dari permainan elite politik. ''Apakah ada politicking di balik kebakaran ini, semua menduga ada. Ini Presiden sedang digoyang-goyang. Jangan-jangan ada yang memancing di air keruh, mumpung lagi gonjang-ganjing hantam saja sampai Gunung Lawu terbakar. Yang penting ramai.
''Ia menunjuk adanya pihak asing ikut bermain. ''Perlu diwaspadai proxy war dari beberapa negara pengincar sumber daya alam.'' Kasus pembakaran hutan di Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi dikerubuti kepentingan ekonomi, politik, bahkan global.
''Sebuah titik api tidak hanya menghasilkan asap, tetapi juga duit dan berbagai kepentingan berkelindan. Mengatasi ini, kehadiran negara sangat kita perlukan.''
Para pelaku kejahatan tersebut menggurita sebagai mafia yang tidak hanya melibatkan antek lokal, tetapi juga sudah menyentuh tataran elite dan para pemain global. Gurihnya lahan gambut membuat persekongkolan itu abai atas kesengsaraan umat manusia dan punahnya ekosistem.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari Diskusi Kelompok Terfokus bertema Solusi titik api, merumuskan penyelesaian akar permasalahan penyebab terjadinya kebakaran hutan yang digelar oleh Media Riset Center (MRC) di gedung Media Group, Kedoya, Jakbar, Selasa (3/11).
''Salah satu akar masalah dalam pembakaran hutan ini ialah adanya mafia yang selama ini melakukan kegiatan ilegal, baik dalam konteks perambahan hutan dalam kawasan hutan berizin maupun yang masih open access. Merekalah yang selama ini memprovokasi kemudian membangun jaringan yang melibatkan petani adat untuk membakar hutan,'' ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, Purwadi Suprihanto.
Banyak pihak menghisap keuntungan atas pembakaran hutan ini karena akan meningkatkan nilai lahan dari Rp8.650.000 menjadi Rp11.150.000 per hektare. Jika sudah ditanami bibit sawit nilai jualnya akan menggelembung menjadi Rp40 juta.
''Lewat social network analysis, yaitu between-ness centrality, elite lokal itu merupakan orang-orang terpenting yang menghubungkan para aktor pembakaran,'' ujar peneliti CIFOR, Profesor Herry Purnomo.
''Siapakah elite lokal itu,'' tanya Annas Radin Syarief dalam nada tidak sabar.
''Bisa siapa saja, dari oknum-oknum pegawai pemerintahan di tingkat kelurahan hingga provinsi, para peneliti, tentara, polisi, tokoh masyarakat yang semuanya tergerombol dalam jaringan organized crime,'' ujar Herry Purnomo. Bahkan lanjut guru besar IPB itu, elite ini bisa memengaruhi proses pengambilan keputusan di pemerintahan.
Praktik politik uang dalam pembakaran hutan juga tidak bisa dilepaskan keinginan elite untuk ikut pilkada. Jumlah pilkada di Sumatra dan Kalimantan selama 15 tahun terakhir berpuncak pada 2005, 2010, dan 2015, sedangkan lima puncak api selama kurun waktu itu terjadi pada 2004, 2006, 2009, 2014 dan 2015. Kecuali 2006, puncak titik panas bertepatan dengan jelang terjadinya pilkada dan pemilu yang umumnya terjadi setahun setelah hajatan demokrasi itu berlangsung.
Dalam konteks itulah, peneliti LIPI Prof Tukirin Partomihardjo menengarai adanya politik lahan dalam pilkada. ''Para politikus busuk itu menggunakan lahan dan hutan sebagai cara untuk menarik pemberi suara dan modal. Biaya politik pilkada mengakibatkan peningkatan pemberian izin usaha perkebunan dan pertanian tanpa melalui proses pengajuan yang benar. Salah satu kasus terkait dengan hal ini ialah suap kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Boul, Sulawesi Tengah, sebesar Rp3 miliar. Perkara ini sudah diputus oleh pengadilan dan para terpidananya sedang dan sudah menjalani hukuman.
Perilaku korup para pejabat pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota itu mendorong Prof Bambang Hero Saharjo dari IPB untuk bersuara keras. ''Tingkat kecerdasan yang mereka miliki cukup memadai untuk mengetahui bahwa tindakannya itu akan berujung pada bencana besar.'' Tidak sedikit usaha perkebunan itu sudah dilaksanakan dengan hanya menggunakan izin lokasi atau izin usaha perkebunan yang diberikan dalam kawasan hutan lindung, hutan produktif, maupun konservasi. ''Politik uang membutakan banyak orang,'' keluh Chair for Southeast Asia Wildland Fire Network-UNISDR itu.
Seluruh gerundelan tentang politik uang di tingkat elite lokal itu berujung pada pernyataan Gubernur Sumut yang mengakui adanya keterlibatan aparat dalam praktik itu. ''Terdapat oknum yang sengaja membakar hutan dan lahan untuk kepentingannya, mungkin ada perusahaan yang mengontrakkannya kepada pihak ketiga. Nah, pihak ketiga inilah yang bermain,'' yang ditimpali Prof Tjut Sugandawaty Djohan, ''Ada aktor besar yang menggerakkan dan melindungi mafia pembakaran hutan ini. Maka saya mohon kepada Pak Gubernur untuk cepat bertindak,'' yang dibalas dengan acungan jempol Alex Noerdin. Bagian diskusi ini ditutup oleh Purwadi Suprihanto, ''Kami sangat berharap penegakan hukum terhadap mafia pembakar hutan ini, sebab jika tidak, kami-kami pelaku industrilah yang selalu menjadi sasaran tembak.
''Peneliti Greenet, Transtoto, melihat kebakaran besar sepanjang tiga bulan terakhir tidak lepas dari permainan elite politik. ''Apakah ada politicking di balik kebakaran ini, semua menduga ada. Ini Presiden sedang digoyang-goyang. Jangan-jangan ada yang memancing di air keruh, mumpung lagi gonjang-ganjing hantam saja sampai Gunung Lawu terbakar. Yang penting ramai.
''Ia menunjuk adanya pihak asing ikut bermain. ''Perlu diwaspadai proxy war dari beberapa negara pengincar sumber daya alam.'' Kasus pembakaran hutan di Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi dikerubuti kepentingan ekonomi, politik, bahkan global.
''Sebuah titik api tidak hanya menghasilkan asap, tetapi juga duit dan berbagai kepentingan berkelindan. Mengatasi ini, kehadiran negara sangat kita perlukan.''
__._,_.___
Posted by: Bambang Tribuono <bambang_tribuono@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar