GANI A JAELANI Dosen Sejarah FIB Unpad, Mahasiswa Phd di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris Mudik merupakan per kara religiositas. Bukan karena peristiwa ini terjadi pada bulan puasa ketika setiap tindakan menjadi ibadah. Pun bukan karena dalam mudik, kesabaran, dan keletihan diuji, melainkan ada sesuatu yang agung: pulang. Seseorang yang tinggal di rantau, pulang ke tempat asalnya. Itulah hakikat mudik.Ada sesuatu yang ingin dipenuhi dalam dirinya dengan pulang; sesuatu yang bersifat, baik materiil maupun imateriil. Karena itu, tidak jarang orang mau berkorban banyak untuk memenuhinya. Setiap keberangkatan mengandaikan sebuah perjalanan; berangkat dari satu titik ke titik yang lain. Sebagian orang melakukannya secara sengaja sebagai salah satu jalan yang ditempuhnya. Mereka yang melakukan suatu perjalanan adalah mereka yang berani ke luar dari wilayah aman hidupnya. Kisah orang-orang yang hidup di perantauan adalah kisah tentang keterasingan. Mereka selalu berada dalam tarikan antara masa lalu dan masa kini. Antara masa kini yang begitu jauh dan masa lalu yang begitu akrab. Tarikan-tarikan itulah yang membuat dirinya terasing. Kenyataan seperti itu sangat terasa apabila peristiwa keberangkatan merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki. Barangkali itulah yang dialami oleh Mourid Borgouti, penyair Palestina, yang tidak diizinkan kembali pulang ke kampung halamannya. Dia yang pada tahun sebelum perang Arab-Israel pecah sedang menyelesaikan studinya di Mesir, tidak pernah diizinkan untuk kembali pulang. Akan tetapi, dia tidak mempunyai pilihan. Dia harus tinggal di tempat tempat yang sangat asing bagi dirinya, yang membuatnya pun menjadi sangat terasing. "Orang asing itu," katanya, "adalah orang yang selalu memperbarui izin tinggalnya." Dan, dia termasuk orang yang selalu memperbarui izin tinggalnya. Pulang adalah satu-satunya cara supaya dia tidak terasing. Sebab, dengan berpulang, berarti dia kembali ke tempat tinggalnya, tempat dia diakui sebagai individu, tempat dia bisa mengumpulkan kembali bagian-bagian dari dirinya yang tertinggal di masa lalu. Meskipun demikian, dia juga sadar bahwa tindakannya itu tidak akan pernah mengembalikan segalanya. Sebab, "orang asing itu tak pernah bisa benar-benar pulang. Sekali pun dia bisa kembali. Selalu ada yang hilang." Tapi, paling tidak, pulang merupakan ikhtiar untuk menyusun kembali identitas dirinya yang dilakukan dengan mengunjungi masa lalunya. Kalau kisah mengenai keberangkatan adalah kisah mengenai ketercerabutan, pulang adalah tujuan hidup. Seluruh aktivitas hidup akan selalu diarahkan supaya bisa kembali ke Yang Asal. Sebab, tinggal di perantauan berarti keterasingan. Dan, keterasingan adalah penderitaan. Seperti kisah serulingnya Rumi, "Semenjak aku terpotong dari lebatnya hutan, semua laki-laki dan perempuan meneteskan air mata mendengar suara tangisku. Aku senandungkan robeknya dada karena perpisahan sehingga aku dapat memaparkan perihnya rindu pada mereka. Setiap manusia jauh dari asalnya. Mereka semua berlindung untuk mencari zaman wasalnya." Ketercerabutannya dari Yang Asal, telah membuatnya menderita. Suara yang dikeluarkannya adalah ratapan. Barangkali hidup itu sendiri sebe tulnya merupakan kisah mengenai ketercerabutan. Mengalami hidup berarti tercerabut dari Yang Asal. Oleh karena itu, kembali ke Yang Asal menjadi tujuan utama hidup; bahwa pada dasarnya hidup diarahkan untuk menyongsong kematian yang niscaya. Karenanya, cukup lazim ketika seseorang meninggal kita mengucapkan inna lilllahi wa inna ilaihi raaji'un, "sesunguhnya kita ini milik Allah dan kepada-Nyalah sesungguhnya kita kembali." Dengan demikian, kematian adalah ekspresi kepulangan yang primordial. Karena itulah, saya kira, kepulangan menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan. Tapi, itu kalau ingatan terhadap Yang Asal kuat melekat. Sebab, mungkin tidak sedikit di antara kita (me)-lupa(kan) Yang Asal. Itulah mengapa aktivitas pulang menjadi sangat penting dalam hidup. Bahwa, seseorang yang melakukannya mempunyai kesempatan untuk mengakrabi masa lalunya, supaya bisa mengumpulkan bagian-bagian dari dirinya yang tercecer. Dalam kehidupan yang terus-menerus lurus, pulang merupakan sebuah jeda yang membuat seseorang yang melakukannya mempunyai banyak waktu untuk mengevaluasi apa-apa yang telah dilakukannya selama ini. Pada titik inilah, mudik merupakan aktivitas yang sangat menyejarah. Oleh karenanya, pulang merupakan suatu aktivitas yang membebaskan. Sebab dalam pulang, ada aktivitas menemukan kembali. Ini adalah sebuah proses untuk menemukan pengalamanpengalaman masa lalu, menatanya kembali untuk memberi kesegaran. Barangkali, karena itulah mungkin setiap tahun orang masih menganggap pulang kampung merupakan aktivitas yang sangat penting. Kegiatan yang dilakukan menjelang akhir puasa ini, dalam pikiran saya, seperti melengkapi proses pembersihan diri yang kita lakukan selama sebulan berpuasa, yakni dipungkas dengan pulang. Dan, karena itulah pada satu Syawal manusia kembali terlahir. Dalam kerangka demikianlah aktivitas mudik menjadi sangat religius.Sebab, mudik yang mengandaikan jeda hidup juga merupakan sebuah ruang untuk muhasabah. http://republika.pressmart. |
Minggu, 12 Agustus 2012
[Media_Nusantara] Religiositas Mudik
__._,_.___
.
__,_._,___
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar