Kongkalingkong SUKHOI menuai Duka
by Kusuma_Putri99
Musibah kecelakaan pesawat Sukhoi seri Superjet 100 di Gunung Salak, mengingatkan kembali adanya mark up pembelian Sukhoi.
Sebelumnya Indonesia telah memiliki 10 pesawat Sukhoi yang terdiri dari 2 unit jenis SU-27SK, 3 unit jenis SU-27SKM yang diperkirakan menelan biaya Rp 149,78 trilyun dengan perincian th 2010 dialokasikan sebesar Rp 23,10 trilyun
Th 2011 dialokasikan Rp 32,29 trilyun, th 2012 Rp 29,66 trilyun, th 2013 Rp 32,58 trilyun dan th 2014 sebesar Rp 32,15 trilyun. Desember 2011 yang lalu DPR RI menyetujui APBN Kementrian Pertahanan termasuk di dalamnya pembelian 6 pesawat Sukhoi jenis SU-30 MK2.
Pembelian melalui G to G ini senilai US$ 470 juta ke JSC Rosobron disepakati antara pemerintah RI dengan Rusia. Pemerintah Rusia menyediakan state loan sebesar US$ 1 milyar kepada Pemerintah RI untuk pengadaan alutsista
Termasuk diantarannya pembelian Helikopter Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam, Kendaraan BMP-3F, dan Sukhoi Su 27 serta Su-30MK2 termasuk Avionic.
Kenapa Pemerintah RI malah menggunakan sumber dana pinjaman luar negri/kredit komersial padahal ada state loan dr Rusia?
Siapa yang diuntungkan dengan adanya pinjaman luar negri/kredit komersial ini?
Dari perjanjian itu, jelas bahwa seharusnya pengadaan Sukhoi bersumber dari kredit pemerintah Rusia. Surat B/1390-03/05/01/Srenaau, tanggal 8 Desember 2010 tentang revisi rencana pengadaan alutsista TNI AU TA 2010-2014 dari Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf AU kepada Panglima TNI yang menyebutkan bahwa untuk pengadaan 6 unit Sukhoi dan pengadaan 2 unit pesawat jet Tanker yang semula anggarannya didukung dari sumber PHLN/KE, dialihkan menggunakan State Credit dari Pemerintah Rusia, dalam perkembangannya Kemhan justru mengajukan sumber pendanaan pembelian 6 unit Sukhoi bersumber dari PHLN/KE seperti yang tertuang dalam surat nomor R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada Ka Bappenas.
Dalam lampiran surat tersebut, tambahan PHLN/KE untuk pengadaan alutsista TNI Tahun Anggaran 2011-2014 adalah sebesar US$695 juta dimana US$470 juta diantaranya untuk pengadaan Shukoi SU-30 MK-2 beserta dukungannya.
Keanehan kedua adalah ternyata pembelian G to G ini melalui broker PT. Trimarga Rekatama, perusahaan milik Eng Djin Tjong alias Sujito Ng yang kerabat dari Hero grup ini disinyalir memiliki hubungan khusus dengan Cikeas.
Nama Trimarga mulai terkuat ke publik ketika ada surat dari internal manajemen Trimarga yg tengah bermasalah yg dikirim ke Menhan. Trimarga bukan pemain baru dalam bisnis kendaraan tempur, para pebisnis senjata dan kalangan tentara mengenalnya sbg perusahaan pemasok produk senjata dari Rusia dan Eropa Timur, makelar alat tempur sejak jaman Orde Baru Sukhoi. Kalau pengadaan helikopter tentara dan Polri makelarnya adalah Nyo Man Samirin, salah satu proyeknya adalah pengadaan pesawat latih supersonik T-50 Golden Eagle yang menggantikan pesawat Hawk MK 53.
Biasanya usul pembelian datang dari tiap angkatan yang akan menjadi pemakai senjata yang diteruskan ke Mabes TNI yang Kemudian akan dinilai ulang oleh Tim Evaluasi Pengadaan di Kementrian Pertahanan, yg diketuai oleh Sekjen Kementrian.
Broker/makelar akan memberikan servis termasuk pelesir ke Negara produsen. Biaya lobi dan komisi akan dimasukkan di harga jual Sukhoi. Makelar ini akan berusaha mati2an agar penawarannya disetujui, pdhal spesifikasi senjata belum tentu sesuai dg yang dibutuhkan.
Skema pembelian pesawat Sukhoi yang G to G tapi ternyata melalui broker ini menyebabkan mark up harga yang fantastis. Faktor yang menyebabkan praktik penggelembungan anggaran sulit dihapus karena setiap pengadaan alutsista yang menggunakan fasilitas pembiayaan kredit ekspor dari negara lain melibatkan sejumlah instansi Negara seperti Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Nasional, dan Bank Indonesia. Setiap departemen meminta persenan, persenan juga ke ditebar ke para petinggi di Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, hingga tiga matra angkatan, penggunaan anggaran pertahanan tidak efisien karena terlalu banyak "meja birokrasi" yang harus dilewati. Jika kementerian lain 'hanya' melalui empat meja, di Kementerian Pertahanan bisa 17 'meja'.
Yang paling penting, pemain lama masih memegang kendali dalam jalur pengadaan alutsista di Indonesia. Pembelian 6 pesawat Sukhoi senilai US$ 470 juta artinya untuk 1 pesawat Sukhoi seharga US$ 78,3 juta tanpa persenjataan, Sedangkan Vietnam membeli dengan harga US$ 53 juta lengkap dengan persenjataan…gilaaaa.
Harga resmi dari Pemerintah Rusia untuk 6 unit Sukhoi seri SU-30 MK2 adalah US$ 328 juta, sedangkan pemerintah mengeluarkan US$ 470 jt, Sehingga kerugian Negara diduga sebesar US$ 142 juta atau sekitar Rp 1,3 trilyun … gilaaaa !!.
Mark up pembelian pesawat Sukhoi ini sudah dilaporkan ke KPK RI, mana tindak lanjutnya? Kenapa adem ayem? Ditekan?
Mana yang katanya BPK akan mengaudit pembelian pesawat Sukhoi ini? Kok ga ada kabar? Sudah dapat suapkah?
Anggaran yang dikeluarkan sebesar US$ 470 juta terdiri dari: 6 pesawat @ US$ 5,8 juta total US$ 328,8 juta.
Sepak terjang Trimarga tdk berhenti pada pembelian jet temput Sukhoi SU-30MK2, Trimarga juga punya keterlibatan dalam pengadaan 37 tank amfibi BMP3F, yang kini digunakan sebagai armada perang di jajaran TNI AL, ada mark-up lagi? Kita lihat ntar.
Trimarga disebut-sebut berpartner dg salah satu mentri senior bidang ekonomi, bos MNC dan Cikeas jg dekat dg perusahaan ini.
Kita juga tau track record Mentri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yg menjadi broker penjualan blok Cepu, Purnomo dapat fee juga atas pembelian pesawat Sukhoi ini? Kepala Logistik TNI terlibat? Dapat fee berapa? Broker/makelar pengadaan alutsista ini yang menyebabkan anggaran uang rakyat dihambur-hamburkan harus diputus.
Sekian sekilas tentang dugaan mark-up pembelian Sukhoi SU-30MK2, kita dorong KPK RI untuk usut tuntas…terima kasih
Musibah kecelakaan pesawat Sukhoi seri Superjet 100 di Gunung Salak, mengingatkan kembali adanya mark up pembelian Sukhoi.
Sebelumnya Indonesia telah memiliki 10 pesawat Sukhoi yang terdiri dari 2 unit jenis SU-27SK, 3 unit jenis SU-27SKM yang diperkirakan menelan biaya Rp 149,78 trilyun dengan perincian th 2010 dialokasikan sebesar Rp 23,10 trilyun
Th 2011 dialokasikan Rp 32,29 trilyun, th 2012 Rp 29,66 trilyun, th 2013 Rp 32,58 trilyun dan th 2014 sebesar Rp 32,15 trilyun. Desember 2011 yang lalu DPR RI menyetujui APBN Kementrian Pertahanan termasuk di dalamnya pembelian 6 pesawat Sukhoi jenis SU-30 MK2.
Pembelian melalui G to G ini senilai US$ 470 juta ke JSC Rosobron disepakati antara pemerintah RI dengan Rusia. Pemerintah Rusia menyediakan state loan sebesar US$ 1 milyar kepada Pemerintah RI untuk pengadaan alutsista
Termasuk diantarannya pembelian Helikopter Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam, Kendaraan BMP-3F, dan Sukhoi Su 27 serta Su-30MK2 termasuk Avionic.
Kenapa Pemerintah RI malah menggunakan sumber dana pinjaman luar negri/kredit komersial padahal ada state loan dr Rusia?
Siapa yang diuntungkan dengan adanya pinjaman luar negri/kredit komersial ini?
Dari perjanjian itu, jelas bahwa seharusnya pengadaan Sukhoi bersumber dari kredit pemerintah Rusia. Surat B/1390-03/05/01/Srenaau, tanggal 8 Desember 2010 tentang revisi rencana pengadaan alutsista TNI AU TA 2010-2014 dari Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf AU kepada Panglima TNI yang menyebutkan bahwa untuk pengadaan 6 unit Sukhoi dan pengadaan 2 unit pesawat jet Tanker yang semula anggarannya didukung dari sumber PHLN/KE, dialihkan menggunakan State Credit dari Pemerintah Rusia, dalam perkembangannya Kemhan justru mengajukan sumber pendanaan pembelian 6 unit Sukhoi bersumber dari PHLN/KE seperti yang tertuang dalam surat nomor R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada Ka Bappenas.
Dalam lampiran surat tersebut, tambahan PHLN/KE untuk pengadaan alutsista TNI Tahun Anggaran 2011-2014 adalah sebesar US$695 juta dimana US$470 juta diantaranya untuk pengadaan Shukoi SU-30 MK-2 beserta dukungannya.
Keanehan kedua adalah ternyata pembelian G to G ini melalui broker PT. Trimarga Rekatama, perusahaan milik Eng Djin Tjong alias Sujito Ng yang kerabat dari Hero grup ini disinyalir memiliki hubungan khusus dengan Cikeas.
Nama Trimarga mulai terkuat ke publik ketika ada surat dari internal manajemen Trimarga yg tengah bermasalah yg dikirim ke Menhan. Trimarga bukan pemain baru dalam bisnis kendaraan tempur, para pebisnis senjata dan kalangan tentara mengenalnya sbg perusahaan pemasok produk senjata dari Rusia dan Eropa Timur, makelar alat tempur sejak jaman Orde Baru Sukhoi. Kalau pengadaan helikopter tentara dan Polri makelarnya adalah Nyo Man Samirin, salah satu proyeknya adalah pengadaan pesawat latih supersonik T-50 Golden Eagle yang menggantikan pesawat Hawk MK 53.
Biasanya usul pembelian datang dari tiap angkatan yang akan menjadi pemakai senjata yang diteruskan ke Mabes TNI yang Kemudian akan dinilai ulang oleh Tim Evaluasi Pengadaan di Kementrian Pertahanan, yg diketuai oleh Sekjen Kementrian.
Broker/makelar akan memberikan servis termasuk pelesir ke Negara produsen. Biaya lobi dan komisi akan dimasukkan di harga jual Sukhoi. Makelar ini akan berusaha mati2an agar penawarannya disetujui, pdhal spesifikasi senjata belum tentu sesuai dg yang dibutuhkan.
Skema pembelian pesawat Sukhoi yang G to G tapi ternyata melalui broker ini menyebabkan mark up harga yang fantastis. Faktor yang menyebabkan praktik penggelembungan anggaran sulit dihapus karena setiap pengadaan alutsista yang menggunakan fasilitas pembiayaan kredit ekspor dari negara lain melibatkan sejumlah instansi Negara seperti Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Nasional, dan Bank Indonesia. Setiap departemen meminta persenan, persenan juga ke ditebar ke para petinggi di Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, hingga tiga matra angkatan, penggunaan anggaran pertahanan tidak efisien karena terlalu banyak "meja birokrasi" yang harus dilewati. Jika kementerian lain 'hanya' melalui empat meja, di Kementerian Pertahanan bisa 17 'meja'.
Yang paling penting, pemain lama masih memegang kendali dalam jalur pengadaan alutsista di Indonesia. Pembelian 6 pesawat Sukhoi senilai US$ 470 juta artinya untuk 1 pesawat Sukhoi seharga US$ 78,3 juta tanpa persenjataan, Sedangkan Vietnam membeli dengan harga US$ 53 juta lengkap dengan persenjataan…gilaaaa.
Harga resmi dari Pemerintah Rusia untuk 6 unit Sukhoi seri SU-30 MK2 adalah US$ 328 juta, sedangkan pemerintah mengeluarkan US$ 470 jt, Sehingga kerugian Negara diduga sebesar US$ 142 juta atau sekitar Rp 1,3 trilyun … gilaaaa !!.
Mark up pembelian pesawat Sukhoi ini sudah dilaporkan ke KPK RI, mana tindak lanjutnya? Kenapa adem ayem? Ditekan?
Mana yang katanya BPK akan mengaudit pembelian pesawat Sukhoi ini? Kok ga ada kabar? Sudah dapat suapkah?
Anggaran yang dikeluarkan sebesar US$ 470 juta terdiri dari: 6 pesawat @ US$ 5,8 juta total US$ 328,8 juta.
Sepak terjang Trimarga tdk berhenti pada pembelian jet temput Sukhoi SU-30MK2, Trimarga juga punya keterlibatan dalam pengadaan 37 tank amfibi BMP3F, yang kini digunakan sebagai armada perang di jajaran TNI AL, ada mark-up lagi? Kita lihat ntar.
Trimarga disebut-sebut berpartner dg salah satu mentri senior bidang ekonomi, bos MNC dan Cikeas jg dekat dg perusahaan ini.
Kita juga tau track record Mentri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yg menjadi broker penjualan blok Cepu, Purnomo dapat fee juga atas pembelian pesawat Sukhoi ini? Kepala Logistik TNI terlibat? Dapat fee berapa? Broker/makelar pengadaan alutsista ini yang menyebabkan anggaran uang rakyat dihambur-hamburkan harus diputus.
Sekian sekilas tentang dugaan mark-up pembelian Sukhoi SU-30MK2, kita dorong KPK RI untuk usut tuntas…terima kasih
__._,_.___
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar