On 09/28/2014 11:00 PM, Awind wrote:
http://www.tempo.co/read/news/2014/09/28/078610383/5-Argumen-DPR-Soal-Pilkada-DPRD-yang-Terbantahkan/1/1
Minggu, 28 September 2014 | 21:37 WIB5 Argumen DPR Soal Pilkada DPRD yang Terbantahkan
Koalisi Kawal Pemilu melakukan aksi demo mengecam pengesahan RUU Pilkada di Bundaran HI, Jakarta, 28 September 2014. Aksi tersebut mengecam dan menentang pengesahan RUU Pilkada yang dipilih DPRD melalui rapat paripurna di DPR. TEMPO/Dasril Roszandi
Berita Terkait
Grafis Terkait
Video Terkait
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah alasan dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat demi mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Namun, menurut Arif Susanto, peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (INDED), alasan yang dikemukakan mereka cenderung lemah dan dapat dibantah. (Baca: Gugat UU Pilkada, SBY Dianggap Sumpah Palsu)
"Mereka terlalu terburu-buru dan gregetan ingin mengesahkan undang-undang ini sehingga luput melihat ada yang bolong-bolong dalam argumennya," ujar Arif dalam sebuah acara diskusi di Menteng Huis, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 28 Setember 2014. (Baca: 'SBY Kecewa UU Pilkada, tapi Rakyat Tidak Bodoh')
Berikut ini adalah 5 alasan yang menjadi dasar bagi DPR untuk memilih pilkada lewat DPRD. Menurut Arif, argumen-argumen yang selama ini dilontarkan anggota DPRD tidak kuat dan dapat dibantahkan:
1. Pilkada langsung melestarikan politik uang
Arif menilai penyebab muncunya politik uang bukan dikarenakan sistem pemilihan langsung. Pemilihan tidak langsung juga bukan merupakan solusi yang ideal untuk mengatasi problem ini. (Baca: 2 Alasan Lucu Soal SBY Gugat UU Pilkada)
"Sogok menyogok juga bisa terjadi terhadap anggota DPRD demi kepentingan terpilih," katanya. Alih-alih menghapus pilkada langsung, solusi yang tepat adalah pembangunan yang berkeadilan dan pendidikan politik yang mencerdaskan.
2. Politik biaya tinggi dapat menghalangi munculnya calon berkualitas
Politik biaya tinggi justru terjadi karena partai menerapkan 'uang perahu' bagi mereka yang ingin mencalonkan diri. Malah dengan diterapkannya sistem pemilihan melalui DPRD, calon independen berkualitas semakin tertutup kemungkinan terpilihnyaa.
"Kita lihat, pimpinan yang bagus seperti Jokowi (presiden terpilih Joko Widodo), Ahok (Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama), dan Risma (Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini) justru terpilih melalui pemilihan langsung, kan?" ujar Arif. (Baca: Membaca Tujuan Akhir UU Pilkada Versi Prabowo)
Ketimbang mengganti sistem, partai sebaiknya merevitalisasi rekrutmen politik dengan tidak hanya menjaring calon yang kaya, tetapi yang berkualitas dan memiliki integritas, juga secara berkelanjutan melakukan revitalisasi kader.
1 2berikutnya >
Minggu, 28 September 2014 | 21:37 WIB5 Argumen DPR Soal Pilkada DPRD yang Terbantahkan
Koalisi Kawal Pemilu melakukan aksi demo mengecam pengesahan RUU Pilkada di Bundaran HI, Jakarta, 28 September 2014. Aksi tersebut mengecam dan menentang pengesahan RUU Pilkada yang dipilih DPRD melalui rapat paripurna di DPR. TEMPO/Dasril Roszandi
Berita Terkait
Grafis Terkait
Video Terkait
3. Pilkada langsung memunculkan politik balas budi
Masalah utama bukan terletak pada sistem pemilihan, tetapi pada komunikasi politik yang terhambat. Relasi antara elite politik dan massa baru terjalin saat lobi melobi pemilih dengan menawarkan imbalan uang. "Seharusnya elite politik mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat," ujar Arif. (Baca: UU Pilkada, Netizen Minta SBY Stop Bersandiwara)
4. Moratorium pilkada langsung dapat menghemat anggaran Rp 50-70 triliun
Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) menyebut e-voting bisa menghemat anggaran hingga 50 persen. Pilkada oleh DPRD mungkin lebih efisien dari segi pembiayaan, naamun hal itu tidak sepadan karena harus mengorbankan kedaulatan rakyat. "Kenapa tidak meempertimbangkan opsi e-voting ini saja?" ujar Arif. (Baca: Pengamat: RUU Pilkada Balas Dendam Kubu Prabowo)
5. Pilkada langsung tak sesuai demokrasi Pancasila
Sejumlah petinggi partai dari Koalisi Merah Putih seperti Aburizal Bakrie dari Partai Golkar menyuarakan pilkada langsung sebagai bentuk neo-liberalisme yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sedangkan sistem pemilihan tidak langsung melalui DPRD lebih sesuai dengan Pancasila terutama sila ke-4.
"Namun substansi demokrasi bukanlah pada perwakilannya, melainkan pada permusyawaratan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan," ujar Arif. (Baca pula di SBY Diminta Segera Teken UU Pilkada)
Ia menilai, semakin luas partisipasi, semakin sehat demokrasi; semakin luas permusyawaratan rakyat, semakin sehaat demokrasi. "Rakyat sendiri tidak melihat DPRD sebagai representasi mereka. Lebih baik langsung," kata Arif.
URSULA FLORENE SONIA
Posted by: Marco Polo <comoprima45@gmail.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar