Jokowi Diragukan Bisa Tuntaskan Mafia Migas
Senin, 15 September 2014 | 07:51 WIBJAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik energi Hendrajit meragukan presiden terpilih Joko Widodo mampu menuntaskan masalah mafia minyak dan gas bumi (migas). Menurut Hendrajit, Joko Widodo, yang akrab disebut dengan Jokowi ini, sudah "ditunggangi" kepentingan banyak pihak.
"Jadi, awalnya kemarin kan dibilang Jokowi ini kan kuda ada jokinya. Tidak terlalu persoalan kalau jokinya satu. Persoalannya ini kuda, jokinya minimal tiga. Ada Luhut Panjaitan, ada Hendropriyono, ada Ibu Suri Mba Mega. Belum lagi ada Jusuf Kalla, malah mungkin empat," ujar Hendrajit di Jakarta, Minggu (14/9/2014).
Hendrajit mengungkit masalah pertemuan antara Jokowi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, ketidakadaan hasil dari pertemuan tersebut merupakan kesalahan Jokowi.
"Cerminnya bukan pada diri SBY. Kepemimpian Jokowi tergambar secara faktual dari ketidakkonklusifnya serangkaian event, termasuk pertemuan dengan SBY yang katanya dengan dasar untuk transisi," ujar Hendrajit.
Hendrajit mengatakan, dirinya belum melihat kepribadian Jokowi siap mengawal usaha pengentasan mafia migas. Pasalnya, penanganan hal tersebut tidak hanya bergantung pada menteri, namun pribadi presiden.
Sementara itu, Hendrajit juga curiga bahwa kemungkinan besar, nama-nama yang akan masuk dalam kementerian hanya "lepas sabuk". Dia menekankan, perlunya mengawasi jika ada kader-kader dari perusahaan multinasional yang tidak membawa kepentingan rakyat, namun membawa kepentingan perusahaan.
"Agen-agen itu, kaderisasi itu, company-companyjuga harus dilihat. Saya lihat kawan-kawan pers kebanyakan kalau membicarakan siapa calon menteri selalu yang ditunggu itu di Rumah Transisi. Padahal, saya lihat itu hanya cangkang dari telur saja. Kita tidak lihat perundingan-perundingan di Hotel Kempinsky, di Hotel Atlet Century, di situ termasuk manuver dari petinggi Shell, petinggi British Petroleum, petinggi ConocoPhillips yang punya pos mau kader orang-orang itu," katanya.Namun, Hendrajit juga berharap kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. "Mudah-mudahan tidak terjadi seperti itu dan ada langkah lebih baik," sebutnya.
Ini Modus Mafia Migas
Senin, 15 September 2014 | 09:00 WIBSHUTTERSTOCK IlustrasiTerkait
- Ini Modus Mafia Migas
- Jokowi Diragukan Bisa Tuntaskan Mafia Migas
- SKK Migas Disarankan Jadi BUMN
- Pengamat: Berantas Mafia Migas Tak Cukup dengan Revolusi Mental
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Deputi SKK Migas Bidang Ekonomi, sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Akhmad Syakhroza mengatakan, satuan tugas (satgas) atau tim khusus pemberantasan mafia minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia diperlukan. Satgas tersebut dibutuhkan untuk membenahi sistem, bukan sekadar memberangus oknumnya."Satgas itu tadi, kalau saya, satgas itu butuh kalau membenahi sistem," ujar Akhmad di Jakarta, Minggu (14/9/2014).
Menurut Akhmad, penampilan mafia migas dan mafia-mafia di sektor lain jangan dipahami sebagai orang jahat yang melawan hukum. Secara teknis, mereka malah mengikuti hukum yang berlaku. Masalahnya, hukum tersebut tidak berpihak pada kepentingan masyarakat umum.
Ironisnya, ketika ada orang yang ingin mengedepankan kepentingan negara dan masyarakat, dia malah akan terbentur hukum. Akibatnya, orang inilah yang menjadi "penjahat" di muka hukum.
"Modus mafia itu kan, ya, waktu mulainya saat buat peraturan. Sehingga, mafia itu kadang-kadang dia legal. Bahwa ada payung hukumnya, kok. Kan kita tidak bisa ngapa-ngapain," ujar Akhmad.
"Nah, begitu kita melanggar satu yang tidak lazim, misalnya peraturannya mengatakan kita harus begini. Tapi, ini tidak bagus untuk kepentingan negara, kita lakukan yang "b", maka kita melanggar undang-undang. Bisa dipanggil jaksa, polisi, pusing kita."Karena itu, Akhmad berharap pemerintahan yang baru siap mengubah sistem dan membuatnya lebih berpihak pada masyarakat, serta tidak merugikan negara. Hal ini pun tidak bisa berhenti di satgas atau tim khusus tersebut. Menurut Akhmad, yang memiliki kemampuan untuk mengubah sistem adalah "pimpinan".
"Presiden toh tidak mungkin mengubah itu, kan ada menterinya. Ada DPR, kan kalau di undang-undang ada revisi undang-undang, ada MK, kita judicial review, ada PP, turunannya, supaya dibenahi jalannya," ujarnya.
Akhmad mengingatkan, Indonesia masih butuh investor dan pengusaha. Lagipula, sebut Akhmad, mereka ini mau mengikuti jalan yang menguntungkan negara dan masyarakat umum.
Hanya saja, ketika di tengah jalan mereka diberikan jalur yang lebih menguntungkan tanpa melanggar hukum, tentu akan mereka ambil. Sebagai pengusaha, mereka terikat pada kebutuhan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
baca juga: Ini Kata JK soal Migas dan Mafianya
Posted by: Marco Polo <comoprima45@gmail.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar