Rabu, 03 Oktober 2012

[Media_Nusantara] KPK Dalam Arus Hipokrisi dan Konspirasi Politik-Kekuasaan

 

KPK Dalam Arus Hipokrisi dan Konspirasi Politik-Kekuasaan

ADALAH kemustahilan KPK bisa melenggang aman memberantas korupsi di saat negara berada dalam kendali kekuasaan politik yang sepenuhnya berada di tangan partai-partai yang tubuhnya terinfeksi virus korupsi. Mustahil pula KPK terlindung aman kelanjutan hidupnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang dipenuhi oleh perwakilan partai yang selalu meneriakkan retorika anti korupsi namun pada waktu yang sama sebagian kadernya bergelimang suap dan korupsi. Adalah fakta bahwa eksistensi partai selama ini, diakui atau tidak, untuk sebagian bersandar kepada dana hasil korupsi. Dan, partai-partai inilah yang kini sedang mengayun-ayunkan nasib KPK melalui move revisi UU KPK.



[POSTER 'KPK JANGAN SAMPAI PUNAH', DI MEDIA SOSIAL. "Mengamati rentetan peristiwa yang menimpa KPK sejak awal, khususnya sejak tahun 2004 hingga kini, sesungguhnya KPK tak hanya dilanda arus hipokrisi dan sandiwara kekuasaan dalam kaitan masalah korupsi, melainkan sudah mengalami konspirasi politik-kekuasaan. Pemberantasan korupsi di era politik uang, adalah sesuatu yang tak diinginkan". (Poster adjie1979@gmail.com)]

Sama mustahilnya, mengharapkan KPK bisa bekerja optimal sementara ia dibentur kiri-kanan, sehingga kerapkali oleng, baik oleh sebagian (sesama) aparat penegakan hukum, tak terkecuali kalangan advokat, karena tujuan dan kepentingan subjektif yang berbeda. Beberapa lembaga penegakan hukum selama ini, diakui atau tidak, digerogoti korupsi internal. Sekaligus, penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi dalam penanganan korupsi. Sikap tidak kooperatif, untuk tidak mengatakannya kesengajaan membentur, yang dilakukan Polri terhadap KPK dalam kaitan kasus Korupsi di Korlantas Polri, bisa dilihat dalam konteks ketidakbersihan internal tersebut. Dari pemberitaan pers terbaru, Tempo misalnya, terlontar semacam sinyalemen, tentang kuatnya sikap alert dan alergi Polri terhadap penanganan kasus tersebut oleh KPK. Tak lain karena sejumlah petinggi Polri kuatir kasus itu bisa (atau memang telah?) merambat ke atas sampai level Kapolri.

Benturan dan  gempuran bertubi-tubi juga senantiasa datang dari kalangan advokat, seperti yang antara lain terlihat dalam berbagai forum diskusi di televisi, forum ILC tvOne misalnya. Diakui atau tidak, sejumlah pengacara setidaknya dalam satu dekade terakhir telah menikmati suatu ladang rezeki dan bisa menjadi kaya raya melalui klien-klien pelaku korupsi. Maka seringkali banyak di antara mereka menjadi sangat subjektif mengenai pemberantasan korupsi, terbawa kepentingan. Dan bilamana kepentingan itu terusik, sadar atau tidak melampiaskan 'kemarahan', terutama kepada KPK. Meski ada kemungkinan, kemarahan itu belum tentu kemarahan sesungguhnya, karena makin giat KPK menyeret tersangka makin terbuka pula ladang rezeki. Sama yang dialami Kejaksaan Agung masa Marzuki Darusman, yang menghadapi situasi 'benci tapi rindu'. Di masa itu penanganan kasus korupsi begitu intensifnya, sehingga para advokat tertentu 'menikmati' 'booming' rezeki dari banyaknya tersangka korupsi.

Sebenarnya, pengutaraan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, beberapa waktu yang lalu tentang 'advokat korup' ada benarnya. Hanya saja, ia ceroboh dan tidak cermat memformulasikan kalimat-kalimatnya, sehingga ia bisa menjadi bulan-bulanan empuk dan 'kalah' dalam debat gaya pokrol bambu. Bila Denny Indrayana bukan sekedar seorang aktor dalam panggung hipokrisi pemberantasan korupsi, semestinya ia berusaha keras kini untuk membuktikan konstatasinya tentang advokat korup. Pasti masih akan ada juga advokat bersih, yang sudah muak dengan permainan kolega-koleganya selama ini, bisa membantu membersihkan dunia advokat.

Dan adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekali lagi, tetap tak bisa diharapkan apapun sepanjang menyangkut KPK atau pemberantasan korupsi. Ketika datang ke Gedung KPK beberapa hari lalu, Sekertaris Kabinet Dipo Alam, mencoba meyakinkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung penuh eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi. "Presiden full support KPK", katanya. Ini semua seolah-olah hanya permainan di gelanggang hipokrisi, karena orang tahu bagaimana 'sikap' untuk 'tidak bersikap' dari Presiden SBY dalam konflik penanganan kasus korupsi Korlantas, antara KPK dengan Polri. Atau dalam menghadapi korupsi yang terjadi di tubuh partai pendukung utamanya, Partai Demokrat.

SEBENARNYA apakah yang dihadapi KPK saat ini? Ini perlu untuk dikaji di saat ada upaya revisi Undang-undang KPK dengan konotasi ingin mengerdilkan KPK, atau bahkan membubarkannya samasekali. Pengerdilan, karena dalam rancangan revisi tersebut ada usaha menghilangkan sejumlah kewenangan penting KPK. Dan bersamaan dengan itu ada bayang-bayang niat tersamar untuk membubarkan KPK dengan selalu menyebut-nyebut –maksud utamanya tentu mengingatkan– bahwa KPK hanyalah sebuah lembaga ad-hoc, yang dengan sendirinya sewaktu-waktu bisa dibubarkan.

Perlu diingat, bahwa KPK itu sendiri terbentuk masih dalam 'sisa' masa euphoria reformasi yang membutuhkan didengung-dengungkannya retorika pemberantasan korupsi. Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disetujui DPR pada bulan puasa 2002, di masa kepresidenan Megawati Soekarnoputeri. Sebelum KPK dirancang dan kemudian diwujudkan pembentukannya, terjadi suasana gerah yang diakibatkan sepak terjang sebuah lembaga bernama KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) yang gencar meneliti dan mengumumkan kekayaan pejabat negara maupun anggota-anggota DPR-RI. Banyak pejabat yang kewalahan dengan pengungkapan harta kekayaannya, menginginkan KPKPN dieliminasi. Momentum pembentukan KPK menjadi 'jalan keluar' yang tepat dan 'kebetulan' bagi mereka yang tidak senang kepada KPKN. Akhirnya, KPKPN dilebur ke dalam KPK 29 Juni 2004.

Apa yang dialami KPKPN, dibentuk tapi lalu tidak disenangi dan dimusuhi, juga kemudian dialami KPK. Dalam situasi negara masih didominasi unsur-unsur korup, pembentukan KPK agaknya hanyalah bagian dari taktik dan kepuraan-puraan atau hipokrisi. Bagian dari sandiwara kekuasaan, yang seakan-akan mengikuti aspirasi rakyat yang menuntut pemberantasan korupsi dan tak tak percaya lagi pada lembaga penegak hukum yang telah ada. Akan tetapi pada sisi lain, lembaga baru pemberantasan korupsi yang dibentuk, diusahakan bersifat proforma saja, lemah dan mandul. Maka, tak henti-hentinya KPK mengalami usaha pelemahan terutama bila mencoba 'nakal'.

MENGAMATI rentetan peristiwa yang menimpa KPK sejak awal, khususnya sejak tahun 2004 hingga kini, sesungguhnya KPK tak hanya dilanda arus hipokrisi dan sandiwara kekuasaan dalam kaitan masalah korupsi, melainkan sudah mengalami konspirasi politik-kekuasaan. Pemberantasan korupsi di era politik uang, adalah sesuatu yang tak diinginkan.

Ada rekayasa kasus Antasari Azhar yang diyakini banyak orang melibatkan kalangan tingkat tinggi, ada blow-up kasus suap Chandra Hamzah-Bibit Samad Riyanto yang menyebabkan terobrak-abriknya kepemimpinan KPK untuk beberapa lama. Dan ada pula tuntutan dari anggota DPR untuk membubarkan KPK lalu mengembalikan tugas pemberantasan korupsi ke tangan Kejaksaan Agung dan Polri. Ada upaya revisi Undang-undang KPK yang kecenderungannya menghilangkan beberapa wewenang istimewa KPK (Namun berita terbaru menyebutkan, beberapa fraksi yang tadinya menginginkan revisi, kini balik haluan menolak atau menunda, ketika ada tekanan publik menolak revisi). Ada konflik KPK-Polri dalam soal penanganan korupsi Korlantas Polri. Ada penarikan penyelidik Polri dari KPK yang sengaja atau tidak mempersulit KPK menjalankan kegiatannya. Paling tidak, untuk membuat KPK mengemis-ngemis dan merasakan betapa kecil dirinya di antara lembaga penegakan hukum lainnya.  Ada keengganan persetujuan DPR untuk pembangunan gedung baru KPK dengan alasan KPK hanyalah lembaga ad-hoc yang bersifat sementara. Bila itu semua diakumulasikan, kesimpulan apa lagi yang bisa ditarik?

Kalaupun, tak ada konspirasi berat, melainkan sekedar tarik ulur kalangan kekuasaan politik dan pemerintahan untuk membuat KPK tak berfungsi optimal, itu sudah lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kehadiran KPK memang tak terlalu diinginkan. Hanya saja, karena KPK mendapat dukungan publik begitu kuatnya, tak ada yang berani membubarkan KPK terang-terangan begitu saja. Tapi mau tidak mau oleh tarik ulur tersebut, tercipta status quo yang tidak menguntungkan gerak pemberantasan korupsi. Ini menjadi permainan yang tak akan ada akhirnya bila tak ada tindakan dan political will yang jelas. Biasanya, lembaga yang dipermainkan seperti itu, akan berakhir bubar dengan sendirinya seperti yang terjadi dengan lembaga-lembaga ad-hoc pemberantasan korupsi di masa lampau.

BARANGKALI, mengiringi wacana hukuman mati bagi koruptor, saatnya kini publik meningkatkan tuntutan dan upaya, bukan hanya memperkuat KPK, tetapi memperjuangkan KPK menjadi lembaga permanen pemberantasan korupsi, dan satu-satunya. Fungsi dan tugas pemberantasan korupsi dilepaskan dari Polri maupun Kejaksaan Agung, untuk kemudian sepenuhnya diserahkan kepada KPK. Pemerintah dan partai-partai politik yang ada harus ditekan melalui momentum Pemilihan Umum 2014. Publik, nyatakan dan tunjukkan dukunganmu dengan kuat!

(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar